#Ponsel Pertama
Explore tagged Tumblr posts
Text
Bukan 'New Year, New Me': Mengapa Perubahan Tidak Perlu Menunggu Tahun Baru
“Perubahan tak butuh momen megah, ia hanya butuh satu langkah kecil yang berani.”
Setiap Desember, dunia seperti sibuk berganti kulit. Resolusi ditulis, kaleidoskop dibuat, seolah-olah pergantian kalender mampu menyulap hidup. Nyatanya, berapa kali kita memulai "tahun baru" tapi tetap terjebak di pola lama?
Perubahan Tak Perlu Momen, Ia Hanya Perlu Niat
Kita seringkali terjebak dalam romantisme momen. Tahun baru, ulang tahun, tanggal "cantik" seperti 02-02-2024, semua dianggap sebagai portal magis menuju kehidupan yang lebih baik. Padahal, perubahan tidak pernah memilih tanggal. Ia datang ketika kau siap, tak peduli apakah itu hari Senin atau Kamis, Januari atau Juli.
Perubahan tidak butuh perayaan. Ia butuh keberanian. Keberanian untuk mengakui bahwa kita salah. Keberanian untuk meminta maaf pada diri sendiri. Keberanian untuk bangun dari kasur lebih pagi meski tak ada yang menyuruh.
Jika perubahan menunggu momen, maka seharusnya hidup kita sudah sempurna sekarang. Sebab bukankah kita telah melalui belasan, bahkan puluhan pergantian tahun? Nyatanya, perubahan terbesar justru datang di hari-hari biasa — saat kita memutuskan untuk bangkit dari kekecewaan, saat kita akhirnya membalas chat yang kita takutkan, atau saat kita memilih berhenti menyalahkan dunia.
Resolusi Itu Seperti Janji di Atas Kertas Basah
Coba renungkan, berapa banyak dari kita yang menuliskan "2023: Hidup Lebih Sehat, Rajin Olahraga, Baca 20 Buku, Tabung Rp 5 Juta" di awal Januari, hanya untuk melupakannya di Februari? Resolusi itu indah, tapi sering kali ia hanya janji-janji manis yang disusun rapi lalu dilupakan begitu saja.
Kenapa? Karena kita sibuk fokus pada target besar, tapi lupa bahwa perubahan tidak terjadi dalam sekali loncatan. Perubahan sejati datang dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Alih-alih menunggu pergantian tahun, kita bisa memulainya dari hal-hal remeh. Dari menutup ponsel 10 menit lebih cepat sebelum tidur. Dari memilih membaca satu halaman buku saat menunggu antrean. Dari menegur diri sendiri, "Cukup rebahan, waktunya bergerak."
Perubahan tidak butuh daftar panjang yang terlihat keren di Instastory. Ia hanya butuh langkah pertama. Dan langkah pertama itu tak perlu menunggu 1 Januari.
Hidup Bukan Sebuah Babak Baru, Ia Adalah Jalinan Benang Panjang
Setiap kali kita berkata, "Tahun depan aku akan mulai dari nol, "kita lupa bahwa hidup ini bukan seperti video game yang bisa di-reset. Tidak ada tombol "New Game" yang memungkinkan kita menghapus semua kesalahan dan mulai dari awal. Luka tetap ada, kenangan buruk tetap tinggal, dan PR hidup tetap harus diselesaikan.
Jadi, buat apa menunggu Januari jika kita bisa memulai dari sekarang? Jika merasa lelah, istirahatlah. Jika ingin berubah, ubahlah. Jangan menunggu bunyi kembang api untuk memberi kita izin. Sebab kembang api, seindah apapun, hanya menyala beberapa detik sebelum kembali menjadi gelap.
Sebaliknya, perubahan sejati adalah lentera yang menyala pelan-pelan. Kadang, ia kecil, redup, dan nyaris padam. Tapi jika kita jaga dengan ketekunan, cahayanya tak akan pernah mati.
Bukan "New Year, New Me", Tapi "Every Day, Better Me"
Barangkali, bukan "Tahun Baru, Aku yang Baru" yang kita butuhkan. Mungkin, yang kita perlukan hanyalah "Hari Ini, Aku Lebih Baik dari Kemarin."
Hari ini. Ya, hari ini.
Bukan Januari, bukan hari Senin, bukan tanggal kembar yang cantik di kalender. Hari ini, dengan semua kelelahan dan kebingungan yang kita bawa, adalah panggung yang cukup besar untuk perubahan. Kita tidak butuh kembang api, tidak butuh countdown, tidak butuh tagar #Resolusi2024. Kita hanya butuh satu langkah kecil.
Mulailah dari mana saja. Tutup satu tab media sosial, buka tab buku digital. Matikan alarm snooze, bangun lebih awal. Alih-alih menyimpan dendam, kirim pesan maaf yang tak pernah berani kau kirimkan. Langkah-langkah kecil ini mungkin tak viral, tapi ia nyata. Ia mungkin tak membuatmu merasa seolah-olah hidupmu "baru", tapi ia akan membuatmu merasa lebih utuh.
"Karena perubahan sejati tidak pernah butuh momen besar. Ia hanya butuh kita — kita yang siap untuk melangkah meski tanpa sorak-sorai."
Kam, 19 Desember 2024
#tulisan#motivasi#self development#inspirasi#lifestyle#self care#growth#tahun baru#project 2025#hiteccblog
12 notes
·
View notes
Text
"Like the sun at dawn
As if darkness
had been replaced by light
Its broke, to grow
Lost, then change."
- Rahl, 22125
Aku masih mendengar detak jantungku sendiri. Setiap langkah dan perjalanan, ialah alasan untukku bertahan dari kegilaan.
***
[ Bu Ita : Rue, apa temenmu memang seperti ini ya, tidak minat kah untuk magang?? ]
Sebuah notifikasi pesan muncul di layar hp Rue, gadis itu sejak tadi ingin beranjak dari tempat tidurnya tapi terpaksa harus duduk kembali. Ia meletakkan gawainya di atas kasur dan mengambil segelas air minum dari meja di sisi kanannya. Rue mengatur napas, ia terpaku sekejap pada isi pesan yang baru masuk itu.
[ Mohon maaf sekali ibu atas kesalahan teman tim saya, kami akan lakukan evaluasi bersama agar mencegah kejadian ini berulang ]. Rue memberi emoticon mengatup kedua tangan di akhir pesan teksnya.
Rupanya setelah beberapa menit, pesan itu hanya dilihat saja oleh Bu Ita---Penanggung Jawab anak magang di kantor Rue sekaligus Pimpinan Redaksi Penerbitan. Gadis itu membaringkan tubuh, ia menatap lekat-lekat ponsel miliknya, berharap agar Bu Ita memberikan kata-kata selain pesan yang pertama tadi. Ia memejamkan mata kemudian mendengus kesal sebab malah teringat Desi---rekan kerjanya.
Mengapa Rue harus satu tempat magang dengan orang yang sama sekali tidak dapat dipahami perilakunya? Kali ini Desi telat dua jam dan tidak mengabari sama sekali. Rue bahkan sudah hafal dengan pola ini. Nantinya ketika ada yang bertanya pada Desi, pasti jawabannya tidak jelas, seperti orang linglung.
Rue beranjak dari tempat tidur, ia mengecas handphone miliknya lalu bergegas untuk mengotak-atik isi kulkas, membuat bekalnya, lalu mandi. Menunggu jam dua belas siang agar ia bisa pergi ke kantor penerbit tempatnya bekerja. Setidaknya ia bisa mendapat pengalaman dari sana untuk mengaplikasikan ilmu yang dia punya, meningkatkan softskill dan hardskill, serta memperluas wawasan.
Paling kurang dirinya harus bertahan di sana lima jam per-hari nya, karena kali ini shift siang, maka pukul 17.00 ia bisa pulang. Dan begitulah kegiatan gadis itu sampai hari-hari berikutnya. Hidup di kota orang yang jauh dari orangtua sempat membuatnya merasa kurang nyaman. Apalagi sebelum pergi merantau ia sempat berdebat dengan kedua orangtuanya yang sangat menentang keputusan Rue. Tetapi ia harus melakukannya, demi perubahan hidup keluarga. Ya, dengan tekad kuatnya Rue bisa meyakinkan sang ayah dan bunda.
***
"Selamat siang Bi Siti," sapa Rue pada salah satu CS di kantornya.
"Siang Rue, panas banget yah neng di luar?" sahut wanita paruh baya itu, dia menghentikan aktivitas bebersihnya sebentar.
"Iya, Bi. Nyengat mataharinya," kata Rue sambil tertawa ringan.
"Masuk jam dua belas, Neng?"
"Ngga, Bi. Saya shift siang masuk jam satu, cuma mau dateng agak cepetan dikit."
"Ooh gitu nyah, si eneng geulis telaten pisan," puji Bi Siti.
"Aamiin, Bi. Oiyah, saya bawa Brownies buat Bibi." Gadis itu membuka tas kemudian memberi satu kotak Brownies untuk Bi Siti. Wanita paruh baya itu terlihat riang sekali menerima hadiah dari Rue, dia tahu bahwa Rue yang membuatnya sendiri karena Rue suka bercerita bahwa ia suka membuat berbagai kue dan roti. Bi Siti berterima kasih pada anak baik itu dan dibalas ramah pula oleh Rue. "Ngomong-ngomong saya ke dalem duluan ya, Bi? Mau siap-siap ganti shift, hehe."
"Boleh-boleh. Sok atuh neng, Bibi teh juga mau pulang ini," Bi Siti nyengir sembari buru-buru melipat kain lapnya. Rue pamit pada Bi Siti dan melambaikan tangannya, mereka pun berpisah. Rue akan mulai bekerja, Bi Siti akan segera pulang ke rumah. Sebuah siklus dimana bekerja, akan selalu menemui waktu akhirnya, yakni pulang.
Waktupun berlalu, kini Rue sudah berada di depan laptopnya untuk mengolah data-data, sekitar pukul dua nanti ia harus turun ke divisi percetakan untuk sekedar mengawasi tumpukan buku-buku yang akan dijilid. Rue mengerjapkan mata, rupanya sudah hampir jam dua. Ia pun segera ke lantai satu dengan membawa tablet kantor.
Ia tampak menikmati perannya menjadi Kepala Produksi. Dia mengarahkan karyawan dengan sangat teliti, agar meminimalisir kesalahan. Namun tak jarang pula Rue turut serta membantu para pekerja di sana, merangkul mereka. Terkadang mentraktir snack atau membawakan kue buatannya untuk para staff dan karyawan.
"Maaf Kak Rue, izin melaporkan. Sampul buku yang edisi satu sepertinya tidak sesuai dengan konsep awal, apa mungkin memang sudah diganti ya, Kak?"
"Boleh saya lihat dulu, Dek?"
"Silakan, Kak, sebelah sini." Rue tercengang melihat sampul buku yang ada, 'Berantakan sekali!'
"Dek, apa yang ini sudah melewati tahap revisi kita kemarin?"
"Sudah, Kak. Saya yang mengantar sampelnya langsung pada kakak."
"Ini udah puluhan tercetak ya. Habis banyak kertas juga."
"Benar, maaf Kak Rue, padahal kita sudah sering sekali cek perkembangan buku-buku ini."
"Nggak apa-apa, Dek. Kita udah melakukan yang terbaik sebelumnya, sekarang kita harus cari solusinya saja daripada pusing. Emm, kamu tau ruang Kak Desi yang baru?"
"Di lantai dua, sampingnya ruang kerja Kak Rue. Mau saya antar, Kak? Mungkin saya perlu hadir menemui kakak itu."
"Tidak sayang, kamu lanjutkan saja pekerjaanmu, ya."
"Kalau begitu baik, Kak."
Rue tidak menyangka ia harus dihadapkan lagi oleh keadaan ini, sejujurnya ia agak muak berurusan dengan Desi. Rue mendatangi rekannya yang bermasalah itu dengan maksud untuk menanyakan tentang desain sampul. Kenapa tiba-tiba berubah? Apalagi banyak ketidaksesuaian konsep, bisa-bisa penerbit dan pihak penulis akan dirugikan jika hal ini terus berlanjut. Pun di kantor ini tidak boleh seenaknya saja.
"Permisi, Des," kata Rue. Ia mengetuk pintu kemudian melihat ke arah kaca tembus pandang, semua orang yang ada di dalam sana menatap gadis itu. Kemudian Desi mengangguk, tanda ia mempersilakan Rue untuk masuk. Setelah masuk ia tersenyum ramah kepada semua rekan kerja Desi dan dibalas serupa pula. Rue segera memberi kode kepada kawannya itu untuk bicara di luar.
"Kenapa, Rue?" tanya Desi seperti tidak tahu apa-apa.
"Laporan yang dirimu janji buat dua bulan lalu udah sampai mana?" balas Rue. Gadis itu memelankan suaranya agar orang lain tak terlalu mendengar, sebab ia tidak mau mempermalukan Desi.
"Oh itu ... aku kan dah buat. Tapi belum sempat di siapkan karna--emm, aku gak ngerti, masih bingung buatnya gimana. Di rumah pun ngga ada laptop, jadi kek mana lah susah. Kesempatan cuma di sini, tapi tiap udah masuk rame terus antrian data desain, proofread. Belum lagi editor naskah yang pakai laptop ruangan karena kami sama-sama ngga ada, dirimu juga ngga ada jadi aku gabisa pinjem siapa-siapa," jawab Desi panjang lebar.
Ia mengedip-ngedipkan kedua matanya, sejujurnya dia pun tidak bisa memastikan jawabannya masuk akal atau tidak. Ah ya, Rue juga tidak punya laptop atau tablet, ia hanya diberi dan memakai itu di kantor saja. Maka dari itu Rue memanfaatkannya sebaik mungkin agar selesai dan tidak menunda-nunda tugas.
"Aku kasihan sama kamu, tapi udah lima bulan kita magang, dirimu sama sekali ngga nyentuh dokumen laporan itu, bukannya kemarin uda kita buat kerangkanya bareng-bareng? Kamu tinggal isi dan sesuaikan sama divisi. Aku juga bingung tiap hari ditanyain Bu Ita terus. Dan kalau kamu ngga ngerti, bisa nanya ke aku kan?"
"I--iya mungkin ko bisa bantu aku pas nanti kita ketemu di weekend atau gimana ...."
Rue terdiam, ia sudah ngos-ngosan menahan amarah. Kemarin gadis itu sudah mengajak Desi untuk mereview laporan tersebut, tapi Desi banyak bertanya dan menyiratkan seakan tidak mau padahal itu juga di depan banyak orang. Jadi Rue memutuskan mengerjakan sendiri. Rue teringat bahwa setiap kali Desi melontarkan pernyataan, pasti Desi tak juga menepatinya. Sejak bulan pertama dan kedua mereka magang di sini, orang-orang tidak menyukai Desi karena sifat bebal dan kasarnya. Banyak rekan kerja lain yang selalu saja bertanya tentang Desi kepada Rue. Karena memang Rue adalah tetangga sebelah rumah Desi.
"Rue ... kecewa ya samaku?" tanya Desi kala itu. Tapi Rue hanya bisa tersenyum simpul sembari terus menyemangati. Dan terus memberi info serta data-data yang diperlukan untuk memudahkan Desi. Beberapa kali ia melakukannya, baik lewat chat ataupun bicara langsung. "Kalau ada apa-apa bilang ya. Kalo ada masalah cerita aja gapapa," ucap Rue. Ia menepuk-nepuk pundak temannya itu.
Orang-orang berharap setidaknya Rue bisa menceritakan detail tentang orang seperti apa sebenarnya Desi ini? Sedangkan Rue tidak pernah terlalu memperhatikan Desi, ia hanya fokus pada dirinya, keluarga, sahabat, pekerjaan, tugas, juga orang-orang yang bisa diajak kerja sama. Tapi ketika gadis itu tahu bahwa ia akan sama-sama magang dengan Desi, Rue lah yang memulai pendekatan pertemanan agar ia merasa mereka tidak canggung ke depannya.
Rue menolong Desi sebisanya, semampunya, tapi Desi tidak pernah sebaliknya pada Rue. Atau mungkin ia tidak tahu diri? Tidak bisa memahami perjuangan orang lain. Tidak memiliki empati. Dia pernah bercerita bahwa keluarganya di rumah sangat kacau. Tetapi Desi juga tidak mau bangkit dari keterpurukannya, dan dia pun juga malas untuk menggerakkan perubahan hidupnya.
Pernah setelah banyaknya gosip miring tentang Desi, yang digosipkan itu pun berubah. Mulai cekatan dan inisiatif, pekerjaannya cepat terselesaikan serta datang lebih awal. Rue turut bahagia dengan itu. Tetapi ternyata hanya bertahan beberapa minggu saja. Desi kembali menjadi sosok yang sering terlambat dan tidak memberi kabar serta alasan yang jelas. Rue juga pernah diceritakan oleh rekan sejawatnya, bahwa ternyata Desi mengalami kekerasan dalam keluarganya.
Namun, Rue juga bisa lelah, ia bukan malaikat. Apalagi Rue selalu membawa beban ekspetasi orang lain di pundaknya. Orang lain berharap Rue bisa menarik Desi jadi lebih baik, jangan menyerah untuk mengajak Desi untuk berubah. Semua keluh yang mereka katakan tidak diungkap langsung pada Desi, hanya menyampaikan lewat Rue saja. Apakah mereka mengira bahwa Rue tidak pernah peduli? Apa orang-orang itu menganggap Rue cuek-cuek saja? Bahkan Rue melakukan hal lebih daripada sekedar menasehati.
Tetapi bagi Rue yang berhadapan langsung dengan Desi, mengubah orang sangat sulit dan mungkin mustahil apabila tidak ada niat dari hati Desi sendiri. "Untuk apa membantu orang lain, jika orangnya saja tidak mau dibantu?" Ucap Rue pada Fara kala itu. Karena, Desi tak berusaha sedikitpun. Hanya melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang.
Kadang Rue merasa selalu salah juga di mata mentornya, pekerjaan gadis itu sering diatasi oleh Kakak Seniornya karena Rue terkesan lambat di mata mereka. Tapi dengan semua itu Rue berprinsip mau terus belajar. 'Kalau tidak berani salah, namanya tidak belajar'. Ia selalu rajin, bertanya, dan tidak malu melakukan hal-hal baik yang semestinya. Berbeda dengan Desi yang sering berkata 'Aku nggak bisa ramah ke orang lain, aku ya gini.' Atau Desi yang sering mengeluh 'Capek banget di sini, magang di bidang ini bukan tujuanku.'
Bulan ketiga makin banyak yang tidak menyukai Desi, karena sikapnya yang keras kepala, sering terlambat, tidak inisiatif, serta tidak mau berbaur dengan benar untuk menyesuaikan diri. Dengan kata lain, dia pun tidak pernah intropeksi. Sekalipun diberi nasihat oleh kakak senior, ditegur rekan sejawat, atau dibilangi secara halus dan empat mata oleh Rue. 'Kalo sifatnya emang kayak gitu, susah untuk di rubah dek karna udah bawaan.' Sebuah kalimat dari salah satu Kakak Senior mereka yang selalu Rue ingat.
Rue sendiri sering berhadapan dengan banyak manusia bermasalah, tapi yang kali ini beda. Anak itu seakan tidak mau ditarik, tak mau dibantu. Ia hanya bersembunyi di dalam kurungan zona nyaman yang rupanya merugikan banyak orang. Bu Ita sampai tidak mau mengajak Desi bicara secara langsung untuk menjelaskan kesalahan-kesalahan Desi. Dan dengan semua keadaan runyam itu Rue sama sekali tidak tahu harus melakukan apa. Energinya semakin lama semakin terasa habis, sinarnya memudar.
"Kita kan juga udah sepakat buat ngga ganti desain tanpa sepengetahuanku? Kenapa ngga bilang dulu kalo mau ubah? Klien udah setuju sama yang lama kan?" tanya Rue lagi.
"Maaf, Rue." Dua kata lucu yang dilontarkan oleh Desi. Maaf yang hanya sekedar kalimat, bukan perubahan sikap dan sifat.
"Des, tolong kerjasama nya, buatlah laporan data dari divisimu dan aku minta bantuan untuk tidak melakukan kesalahan seperti ini lagi."
"Iya ...."
"Yasudah aku balik dulu mau lanjut kerjaan, jangan lupa tugasmu." Rue melihat Desi mengangguk-angguk, kemudian ia pun pergi berlalu menuju ke ruangannya.
Hari itu setelah Rue berbincang dengan Desi, ia melihat tetangganya itu pulang agak lebih lama karena mengganti jam terlambatnya tadi pagi. Rue pun segera menyelesaikan jobdesk nya dengan cekatan. Ia mengesampingkan dulu pikiran-pikiran jeleknya, berusaha fokus pada apa yang harus dilakukan sekarang. Jam dinding berdetik, suasana kantor kadang hening, kadang ada suara bicara orang-orang. Tetapi lebih sering terdengar suara mesin cetak dari lantai bawah.
Orang-orang di sini sangat tepat dan cepat kerjanya. Penerbit Sun95 memang terkenal sebagai tempat terbaik, berkualitas dan akurat dalam memproses tiap pesanan. Magang di tempat ini adalah sesuatu yang luar biasa. Rue bersyukur bisa mempelajari banyak hal di sini, tempat yang benar-benar ideal untuk magang. Ah, waktu terasa berjalan terlalu cepat, kini sudah pukul 16.49. 'Bentar lagi pasti Pak Trio kemari untuk memeriksa ruangan-ruangan karyawan. Aku mau kasih bapak Brownies buatanku tadi siang,' batin Rue.
Rue segera merapikan meja, juga menata penampilannya yang tampak lelah, lalu dia menenggak jus alpukat di dalam botol yang dibawa dari rumah. Gadis itu meregangkan badan, lalu bergegas keluar dari ruang kerjanya. Tak lama, ia melihat Pak Trio---Satpam jaga yang sedang berkeliling.
"Selamat sore Pak Trio ...!" Rue agak berlari untuk menghampiri pria paruh baya itu.
Yang dipanggil tersentak dan reflek berkata, "Rue, what's up??" Pak Trio nyengir lalu Rue tertawa pelan.
"Baik kok, hahaha. Ini bapak, saya bikin Brownies buat bapak loh."
"Woiya? Wih, hebat. Nduk Rue bisa baking ternyata. Ohoho, sini bapak cobain yo!"
"Boleh, ini buat bapak semua." Rue menyodorkan sekotak Brownies yang telah terpotong dadu, Pak Trio sumringah ketika menggigit kue buatan Rue.
"Wadooh, kalo semua opo ora kebanyakan iki, Nduk?"
"Ngga lah, Pak. Nah, gimana rasanya?"
"Wueenak tenan, lembut, nyoklat, harum, ada toppingnya lagi. Perfect, nduk," puji Pak Trio dengan aksen Jawa nya. Ia pun memberi jempol andalan. Rue terkikik. Hanya dengan berinteraksi ke Bi Siti dan Pak Trio ia bisa merasakan kehadiran sebuah keluarga. "Makasih yo, Rue. Bapak seneng bisa makan cemilan dari Nduk yang sudah bapak anggap seperti anak sendiri," ucap Pak Trio.
Rue tersenyum simpul, ia jadi teringat bahwa anak perempuan Pak Trio sudah tiada saat usia enam belas tahun karena kecelakaan, begitupula isterinya. "Rue juga seneng bisa berbagi, Pak. Rue mau sekalian pamit ya? Bapak semangat kerjanya!" Rue mengepalkan kedua tangannya berpose menyemangati, sembari nyengir kuda.
"Be carefully, Nduk Rue!" Pak Trio dengan kumisnya ikut tersenyum dan ia melambaikan tangan pada Rue. Gadis itu membalasnya dengan antusias. Ia memesan ojek online untuk pulang ke rumah.
***
Bulan keenam tiba ...
Tak terasa ini adalah bulan terakhir untuk masa magang Rue di Kantor Penerbit Sun95. Kali ini ia shift pagi dan sampai tepat waktu, ia tidak melihat Bi Siti di sana seperti biasanya. Yang dilihatnya adalah Bu Ita, wanita itu duduk di ruang kerja pribadinya yang pintunya terbuka. Mereka bersitatap, Rue tersenyum dan menyapa sopan pada Bu Ita. Tetapi, raut wajah Bu Ita tampak tidak mengenakkan.
"Keuntungan kita merosot Rue, laporan-laporan yang seharusnya terpampang detail di portal saya tidak ada sama sekali sejak bulan ketiga. Sampai mana laporan kalian sebenarnya?"
Rue mengernyitkan dahi, ia mencoba mengingat. "Kalau untuk laporan bagian saya sudah saya upload full Bu---"
"Gimana sama hasil laporan temenmu?" tanya wanita dengan setelan blazer merah itu.
"Kemarin saya sempat lihat Desi mengerjakannya Bu, apa tidak ada konfirmasi langsung ke ibu kalau mungkin saja dia menggabungkan laporan per-bulannya?"
"Nggak ada, Rue. Ini klien udah komplin macem-macem ke kita karena saya menunda pertemuan untuk membahas project selanjutnya. Sedangkan saya juga tidak menerima laporan divisi dan keuangan bagiannya."
"Sampaikan pada Desi, kalau tidak selesai jobdesknya sampai hari terakhir kalian magang. Ibu tidak akan meluluskan hasil magangnya dia."
Napas Rue mendadak sesak, kepalanya terasa nyeri, jantungnya berdegup kencang, padahal bukan dia yang salah. Padahal seharusnya Desi yang berkomunikasi langsung dengan Bu Ita perihal ini. Rue sudah berkali-kali dikecewakan oleh keadaan, disepelekan oleh seniornya, dibuat lelah oleh Desi. Tapi yang kali ini kenapa terasa sungguh berat?
Dari pagi itu hingga jam 12.00 Rue merasa tidak enak badan, pikirannya begitu campur aduk. Rue tidak selera makan, ia bahkan tidak meminum jus Alpukat kesukaannya. Rue tidak mendatangi pekerja di lantai satu seperti biasanya. "Cape ...," lirihnya. Sanggul gadis itu mulai lepas, ia nampak semakin kusut dan pucat. Matanya memerah dan sedikit berair.
"Rue, balik yuk! Lo udah kan? Gue juga udah siap kerj--"
"Eh? Lo kenapa, Rue!?" tanya Fara---rekan kerja seruangan gadis itu. Fara membetulkan hijabnya yang terurai karena agak menunduk melihat Rue. Ia tampak khawatir, sedikit panik juga.
"Ga papa, Far. Pusing dikit aja, udah jam satu ya? Pulang yu," ajak Rue.
"Gue anter ke rumah lo gapapa kan? Searah soalnya."
"Boleh."
Rue, gadis malang itu sering memendam apa yang ia rasakan. Dia selalu ingin terlihat baik-baik saja. Tapi akhirnya emosi dalam dirinya meluap, berdampak pada kesehatan fisik dan mentalnya. Rue, gadis malang yang tidak mengerti bagaimana cara dunia bekerja. Cara menghadapi manusia dengan berbagai macam sifatnya yang tak mudah terlihat. Keadaan dimana ia merasa asing dengan bidang yang dipilihkan orangtuanya. Orang-orang yang kadang suka beranggapan bahwa Rue mesti sempurna, pula orang-orang yang sering mencoba meredupkan sinar Rue. Menggerogoti tubuh perempuan muda itu seperti ia sedang berdampingan dengan buah busuk.
'Lama-lama muak juga,' batin Rue. Wajah Rue kali ini tanpa ekspresi apa-apa, sejak ia tahu bahwa Desi sangat membuatnya marah tapi ia pun tidak bisa mengungkapkan karena kasihan, Rue menutup hatinya. Rue membatasi interaksinya dengan yang katanya teman kerjanya itu. Dan juga lebih jarang membantu, apalagi mengajak bicara. Kalau disapa Desi pun Rue hanya merespons dengan datar. Rue jadi menyesal magang di tempat ini, ia merasa tidak cocok dengan semua orang, bahkan ia menjadi rendah diri.
'Seharusnya aku masuk Tata Boga. Mungkin di sana aku bisa hidup dan tidak akan merasa asing seperti ini. Takkan berurusan dengan drama kantor dan senior tukang judge.'
Keadaannya itu berlangsung hingga beberapa minggu. Kepala Rue semakin sakit, dadanya terasa sesak, tubuhnya lemas, ia pun kehilangan minat masaknya, Rue tak lagi merias wajah. Yang dia lakukan setiap hari adalah bangun, bebersih, makan, berangkat magang dan begitu sampai rumah ia langsung tertidur. Tidur yang lama, sampai ia merasa rasa sedih yang menimpa ikut terlelap bersamanya. Setiap hari Rue merasa dihantui oleh rasa bersalah, kekosongan, kesakitan, itu pertama kalinya ia merasa sangat drop.
Rue jadi tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, ia tak sebahagia dulu. Tapi orang-orang tidak tahu apa yang ia rasakan, orangtuanya khawatir pada Rue dan terus menelepon. Tetapi Rue lagi-lagi seakan baik saja. Rue mengubur letupan emosinya dalam-dalam. Tak seorang pun tahu. Bahkan Pak Trio dan Bi Siti yang Rue sayangi juga tidak tahu keadaan gadis itu.
Maafkan saya. Diri ini berpikir sudah sedikit mulai mengerti. Tapi nyatanya perasaan tiap orang sangat rumit dan sensitif. Tidak semua orang bisa menyampaikan perasaan lewat kata-kata. Terkadang mereka jujur, dan terkadang berbohong. Saya tidak dapat mengurainya dengan tepat. Bagi saya hal itu sangat sulit ....
Tulis Rue pada buku diary nya.
Waktunya bertahan hanya tinggal seminggu, lalu enam hari, kemudian lima hari, dan sampai di sisa empat hari lagi.
***
"Segera temui ibu minggu ini. Bu Ita bilang kalau laporan divisi dan keuangan bagiannya tidak selesai, kamu ngga diamankan lulus magangnya."
"Ohyakah Rue? Duh gimana ya aku masih gak paham, tapi yaudah nanti aku selesaikan."
"Iya, nanti langsung kabari Bu Ita aja."
"Makasih ya Rue informasinya." Ucap Desi yang menggaruk-garuk kepalanya, ia kebingungan. Sementara Rue pergi berlalu, ia mengecek buku-buku di lantai satu. Tidak peduli lagi bagaimana Desi akan membuatnya, yang penting pesannya Bu Ita sudah disampaikan walau Rue perlu beberapa waktu untuk bisa sanggup berbicara lagi dengan Desi. Dan lusanya setelah Rue menanyakan apakah Desi sudah menjumpai Bu Ita, ternyata Desi belum menemuinya. 'Dia ngga pernah berubah, selalu sama'.
***
Saat hari minggu Rue akhirnya pulang ke tempat orangtuanya. "Bunda, Rue pulang ...." Gadis itu memeluk ibunya dengan erat, ia menangis tersedu-sedu. Lama sekali. Rue menceritakan semuanya dengan terisak seperti anak berusia tujuh tahun yang dijahili teman-temannya. Awalnya Bunda Rue menceramahi putrinya terlebih dahulu, seakan menyalahkan Rue atas keputusannya untuk merantau.
"Rue mau bantu keluarga, Ndaa. Rue mau mandiri, sukses. Kata senior, Rue keliatan ada penyakit pernapasan karena Rue sesak terus. Terus orang-orang jahat sama Rue, temen Rue ngecewain Nda, terus Rue kaya disalahin padahal bukan Rue yang salah. Rue gamau di penerbitan lagi, ngga mau, Rue ga suka. Rue juga ngga mau jadi beban di keluarga kita, Bun!" Teriak gadis itu.
Ibunya semakin memarahinya. "Kalau semua perkataan orang kamu telen mentah-mentah, dan perbuatan orang semuanya kamu pikirin, ya kamu yang bakal sakit. Jangan kemakan omongan orang lain, kan di sana cuma belajar. Kamu harus tau gak semua orang itu baik, Rue."
Tetapi di pertengahan ibunya mengatakan hal yang tidak pernah bisa Rue lupakan. "Jiwa kamu harus besar, Nak. Lapangkan hatimu, lepaskan semua beban-beban itu." Rue memeluk bundanya kembali, menyisakan isakan-isakan kecilnya yang perlahan memudar. "Bunda kaget kamu pulang-pulang kok nangis kejer." Ia pun bercengkerama dengan ibunya sepanjang malam. Hingga esoknya ketika ia bangun tidur, sedih dan sakitnya sudah lenyap.
Rue terlahir kembali, ia merasa harus bangkit lagi dan tidak akan menyia-nyiakan pelajaran berharga dalam perjalanan hidupnya sampai detik ini. Tuhan memberinya cobaan yang begitu menyesakkan karena tahu bahwa diri itu bisa melewatinya, untuk bisa menguatkan hati para hamba-Nya. Rue datang ke tempat magang seperti ia datang pertama kali.
Hari terakhir magangnya telah tiba, ia mencoba memberi ruang pada orang yang telah membuatnya sangat kecewa. Dan bersumpah untuk tidak berurusan dengan orang seperti itu lagi dalam hidupnya. Bukankah parasit akan selalu menempel pada inang dan berdampak merugikan? Mungkin kalimat ini tampak kejam. Tapi nyata adanya bukan?
Hari-hari berganti dan tak terasa semua yang terjadi adalah perihal masa lalu bagi Rue, sudah berjarak setahun sejak kesialan dulu menimpa gadis itu. Rue ialah simbolisme dari ketidakadilan orang-orang yang terlampau baik, dan kebaikannya disalahgunakan oleh orang yang dungu. Kini Rue sudah merasa bebas, ia tidak pernah sedih karena mempercayai semua perkataan orang lain.
Ia belajar bahwasannya manusia punya tabiat yang berbeda-beda. Rue harus lebih kuat dan tabah, kita mesti jeli untuk berinteraksi dan lebih selektif dalam membantu orang lain. Kesalahan orang lain bukan tanggung jawab kita. Tak perlu ikut terseret ke dalam jurang sial. Membela diri ketika tidak salah itu penting jika kita tidak mau direndahkan orang. Rue menjadi sosok yang baru, dia lebih aktif mendedikasikan dirinya untuk mereka yang benar-benar layak dibantu. Ia sudah melepas dirinya dari ketidaktahuannya atas sifat manusia.
●
•
Tamat
"Dan jika terlahir kembali, aku takkan menyia-nyiakan kesempatan, aku akan selalu mengingat bagaimana cara diri ini hidup dan bertahan di masa lalu. Agar bisa terus belajar dan menyesuaikan ruang bertumbuh."
Cerita pendek ini bertajuk 'Melepas Kegilaan' , sebuah dalang yang memaknai jiwa yang bertahan sekuat mungkin untuk kembali bangkit dari keterpurukan mendalam, dan perihal penciptaan batasan diri yang sehat.
#28hariberprosa#puanberaksara#tadikamesra#jejaringbiru#terlahirkembali#prosa#sastra#cerita#puisi#cerpen#sajak#hikmah#bertahan#bertumbuh#poem#poetry#story#writers on tumblr#writers and poets#penulis#life#writerscommunity#writing#aksara#rahasia#puisiindonesia#popular posts#text post#karya tulis#pengarangrahl
13 notes
·
View notes
Text
Badai Ilusi, Halusinasiku Mencekik. Tidakkah kau ingin kembali?
"Kau tahu ..." Suaranya serak, penuh kepasrahan, dan kelelahan. Sesuatu yang begitu lirih, hampir tak terdengar. " ... Kau menyebalkan. Kau meninggalkanku tanpa mengatakan apapun. Orang bilang kau pengkhianat."
Betapa rapuhnya Chuuya saat ini bukanlah Chuuya yang orang kenal. Seolah bukan eksekutif mafia terkejam, yang ditakuti semua musuh. Bukan pula pemilik dewa kehancuran dalam tubuhnya, Arahabaki. Bukan semua itu. Ia hanya pemuda yang kehilangan arah. "Apa kau mengkhianati ku?"
Semua itu bermula lima bulan lalu. Tepat ketika Dazai meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Meninggalkan mafia dan kegelapan. Meninggalkan Chuuya seorang diri, dengan ledakan pada mobilnya.
Perginya tanpa pamit. Menghilang entah ke mana. Namun hati Chuuya terasa perih hari itu. Sejak awal, Chuuya seharusnya tahu ia tidak perlu begitu dekat dengan si mumi. Sejak pertama kali ditugaskan menjadi anggota mafia, ia harusnya menganggap pria itu sebagai hama.
Ia melakukannya. Chuuya sungguh menganggap Dazai adalah hama. Bocah itu memang hama. Hanya serangga pengganggu di hari dan hidup chuuya. Itu saja. Ia tidak menganggapnya lebih. Tidak ... kan?
Nyatanya, cara tubuh dan hatinya merespon begitu beda dengan apa yang coba ia harapkan. Kalau ia menganggap Dazai hama, kenapa hatinya ikut terbakar seperti mobil yang hangus ditangan rekannya? Kalau ia tidak menyukai Dazai, kenapa dadanya terasa perih saat tahu Dazai tidak lagi kembali? Kalau Chuuya benci Dazai, kenapa air matanya terus mengalir, bahkan berbulan-bulan setelah semua itu terjadi?
Semua orang bilang Dazai masih hidup. Semua di mafia bilang ia membelot. Ia hanya pengkhianat. Sosok lain yang tak tahu terima kasih. Dan dalam waktu-waktu itu, Chuuya harus membungkam mulut para bajingan yang berani mengatakan hal-hal demikian tentang Dazai. Tentang rekannya. Dazai adalah rekannya. Dan akan selalu begitu.
Bagaimana semua orang beranggapan Dazai pengkhianat? Bagaimana semua orang yakin Dazai bukan hanya terjebak di suatu tempat yang tidak orang ketahui? Karena bagi Chuuya, Dazai tidak pernah berkhianat. Dia tidak pernah. Dia tidak boleh. Bagaimana bisa ia menjadi pengkhianat, setelah menyeret Chuuya dalam organisasi yang awalnya begitu Chuuya benci?
Dan oleh karena itu, Chuuya yakin Dazai bukan pengkhianat. Dia bukan pembelot. Dia hanya ... mati. Dia sudah mati. Mati disebuah tempat yang Chuuya tidak tahu. Tempat yang tak bisa dijangkau Chuuya. Meninggal tanpa jasadnya bisa ditemukan atau dikubur. Ia hanya mati. Karena bagi Chuuya, kematian lebih mudah diterima daripada pengkhianatan. Chuuya sudah menghadapi banyak kematian. Ia tahu rasanya. Ia sudah hampir terbiasa dengannya.
Satu bulan pertama rasanya bak hidup di neraka. Neraka lainnya. Chuuya biasa hidup dalam neraka dunia. Namun kali ini adalah sesuatu yang lebih. Neraka yang lebih dalam, lebih panas, lebih sakit, dan lebih menyiksa. Hari-harinya ditemani air mata dan alkohol. Setidaknya ia butuh sesuatu. Ia butuh untuk melepaskan rasa sesak di dadanya. Ia butuh sesuatu agar bisa melupakan bayang-bayang Makarel menyebalkan yang sudah tak ada lagi di sisinya.
Wine adalah cara terbaik Chuuya. Pernah suatu kali, Kouyou harus mendatangi ke apartemennya, setelah Chuuya tidak masuk kerja lima hari penuh. Betapa menyedihkannya ia. Menangis tanpa henti, bahkan isaknya lebih terdengar saat Kouyou memutus menemaninya. Memeluknya. Menenangkan Chuuya yang mabok dan setengah gila. Itu memalukan.
Bulan-bulan berikutnya relatif mudah. Sedikit lebih mudah, menurutnya. Diantara ia sudah terbiasa, atau ia mati rasa. Meski begitu, bukan berarti Chuuya benar-benar terbiasa. Bukan berarti ia tidak merindukan bajingan itu. Malam Chuuya selalu ia habiskan dengan wine-nya. Sesekali sang eksekutif akan memandangi foto-foto mereka. Sisa kenangan, yang entah didapatkan dari mana. Hanya foto acak. Atau terkadang ia membaca ulang pesan di ponsel. Pesan mereka pada nomor Dazai. Kalau ia terlalu mabuk, Chuuya juga mengirim lagi pesan-pesan acak. Sebuah kejujuran dari hati yang sakit.
Bajingan, kau merindukanku?
Kau di mana?
Makarel, aku merindukanmu. Kau akan kembali, kan?
Apa kau kedinginan? Di sana pasti dingin. Kalau kau butuh tempat hangat, pulanglah. Meski hanya arwahmu, kalau kau butuh pelukan, aku masih menyediakan nya.
Dan seolah doanya terjawab. Atau pesannya terbaca oleh Dazai. Bulan lalu—tepatnya di bulan ke empat setelah Dazai menghilang—pria itu muncul. Itu benar-benar Dazai. Dia Dazai. Masih sama. Tatapannya, gerakannya, postur tubuhnya, dan cara bicaranya. Semuanya sama. Ia sungguh Dazai Osamu, rekan chuuya. Pasangannya sebagai duo Double Black.
Bajingan itu kembali. Di kamar Chuuya. Menunggu dengan wajah tengilnya yang biasa. Seringai yang tersungging tanpa dosa. Menampakkan diri pada malam Chuuya, bak hantu bulan purnama.
Dan betapa hal itu berhasil membuatnya menangis kembali. Cengeng. Terisak tanpa henti. "Kau pergi," rengekannya saat itu. "Kau menghilang. Kau ... Tidakkah kau tahu betapa aku merindukanmu?" Itu adalah isak tangis paling menyedihkan yang pernah Chuuya tunjukkan pada Dazai. Begitu putus asa, meraung-raung dalam pelukannya. Meluapkan semua gundah dihatinya setelah sekian lama.
Pelukan itu. Cara tangan itu membelai kepala dan punggungnya. Tentang kata-kata manis yang menenangkan dari mulutnya. Semua itu sama. Semua hal yang begitu familiar. Hanya saja kali ini terasa lebih ... lembut. Terasa lebih penuh kasih sayang dan tulus. Dan yang aneh, pelukan yang dekat itu terasa begitu jauh. Senyum indah itu terasa begitu nyata. Terlalu nyata hingga sulit diterima.
Dan setelah pikirannya kembali tenang, Chuuya dapat mengamati banyak yang berbeda dari Dazai. Senyum itu masih sama. Senyum mengejeknya masih kentara. Cara meremehkan dan merendahkan yang biasa si maniak bunuh diri itu lakukan masih sama. Hanya saja, kali ini ada yang baru. Sesuatu yang lain yang lebih ... tulus. Senyum itu lebih tulus. Lebih murni dan lembut.
Tatapannya juga sama. Mata indahnya tak pernah berubah. Cara warna cokelat itu bersinar, bahkan dibawah sinar rembulan, selalu membuat hati Chuuya meleleh dengan cara yang sama. Namun setelah Chuuya lihat lagi, Dazai kini tak lagi mengenakan penutup mata. Tak ada perban yang melilit di mata kirinya. Dan dalam tatapan itu ... ada sesuatu yang tampak begitu ... hidup. Ia hidup. Bukan hanya menjalani kehidupan.
Dan cara ia memperlakukan Chuuya terasa begitu ... lembut. Terlalu lembut Chuuya bersumpah. Seolah Chuuya kini adalah sesuatu yang berharga bagi si bajingan itu. Seolah permata yang harus dipoles dan diberi perhatian khusus. Seolah retakan kaca yang sedang ia coba satukan lagi. Rekatkan dengan lem kasih sayang dan cinta.
Namun hal itu terkadang membuat Chuuya jengkel. Itu bukan Dazai. Bukan Dazai-nya. Dazai yang ini banyak tertawa. Banyak senyum manis yang anehnya menyakitkan di hati Chuuya. Seolah pengingat keras akan apa yang sebelumnya telah terjadi. Atau ... kini tengah terjadi?
Dan yang lebih anehnya lagi; Dazai ini selalu datang di malam hari. Muncul selalu di waktu yang sama, setelah matahari terbenam. Dan pergi di waktu yang sama juga setiap harinya, saat matahari terbit. Seolah hantu yang tengah menjenguk orang yang pernah hidup bersamanya. Seolah ia hanya bayang-bayang ilusi. Dan seakan ia hanyalah halusinasi yang Chuuya ciptakan karena kerinduannya.
Ia hampir frustrasi setiap malamnya. Ia merindukannya, namun rasanya aneh menjumpainya seperti sekarang. Chuuya pernah berhenti minum-minum di malam hari, agar ia bisa membuktikan pada dirinya bahwa itu hanya ilusi yang nampak saat ia mabuk. Namun ... ia salah. Tak ada yang berubah. Si-idiot itu masih di sana. Memeluk Chuuya hingga pagi tiba. Lalu hilang tiba-tiba tanpa sepatah katapun. Sama seperti saat ia meninggalkan Chuuya dengan ledakan, lima bulan lalu.
Chuuya bingung. Ia tidak mengerti apa maksud semua ini. Ia tidak tahu, apakah itu arwah Dazai—yang berarti ia benar-benar sudah mati—atau hanya ilusi tentangnya—yang berarti Chuuya setengah gila.
Namun ... semua itu seolah menenangkannya. Semua itu kini menjadi kedamaian batinnya. Ketika ia muntah di kamar mandi karena masalah pencernaan atau terlalu banyak minum, ia mendapati Dazai di sana. Tangannya mengusap bahunya. Mengusap punggungnya seolah ia berfikir semua itu akan membantu. Dan setelahnya, ia akan menarik Chuuya pada pelukannya. Membisikkan kata-kata lembut, kata-kata hangat, kata-kata yang menurut Chuuya terlalu berlebihan untuk dikatakan. Namun anehnya, hatinya menghangat sesaat setelah mendengarnya. Seolah itulah yang selalu ingin ia dengar. Seolah semua itu adalah obat dari lukanya yang bernanah.
Dazai terasa begitu lembut. Begitu hangat. Begitu mencintai Chuuya. Sampai, si-rambut merah bertanya-tanya ... apakah dia sungguh Dazai yang asli?
Biar begitu, Chuuya mendapati dirinya selalu menunggu malam tiba. Karena memang, Dazai selalu muncul di malam hari. Hanya malam hari. Ada apa dengan siang? Apa ia kini berubah jadi vampir, yang menjadikannya tidak bisa terpapar matahari? Kenapa Dazai takut siang? Sampai saat ini, Chuuya belum tahu alasannya. Ia belum mengerti penyebabnya.
Mengabaikan malam-malam tanpa tidur. Mengabaikan rasa kantuk yang akan menyerang di pagi dan siang hari. Mengabaikan kelelahan akibat terjaga sepanjang malam. Mengabaikan semuanya hanya agar ia bisa bersama Dazai di malam-malam gelap namun menenangkan.
Karena, ia hanya ingin bersama Dazai. Hanya ingin berada dalam pelukannya. Atau sekedar pangkuannya. Atau ... cukup kepalanya yang berbaring di pangkuan Dazai.
Itu saja. Cukup itu saja. Chuuya tak meminta yang lebih. Hanya semua itu saja sudah cukup menjadi pelipur lara. Menikmati dingin malam dengan kehangatan pelukannya. Membiarkan jiwanya terseret dan menyerah di malam yang sunyi namun menenangkan.
Sekarang contohnya. Malam ini. Malam lain dari malam-malam yang begitu menenangkan dan terasa aman bagi chuuya. Namun hari lain pula, di mana ia menangis karena kelelahan akan segalanya. Malam lainnya setelah ia muntah di kamar mandi. Dan malam lain ... ketika ia meletakkan kepalanya di paha Dazai.
Matanya merah setelah menangis dan muntah. Chuuya hampir lupa seperti apa dia sebelum Dazai—Dazai yang asli—pergi. Chuuya kehilangan banyak berat badan. Dia sering muntah. Dia hampir selalu lelah.
Kekehan kecil terdengar setelah rentang waktu yang cukup lama untuk hening. Setelah hanya dengungan AC yang menyahut pertanyaan Chuuya. Pengingat bahwa pemilik tangan yang tengah mengusap rambutnya masih hidup. Masih di sana. Masih bisa bicara. Dan masih menemani Chuuya.
[Belum selesai]
#my writing#bungou stray dogs#author#fanfic#ao3#writing#bungou stray dogs dazai#bsd dazai#dazai osamu#dazai x chuuya#bsd chuuya#chuuya nakahara#bungou stray dogs chuuya#bsd#angst#mental illness#eating disoder trigger warning#halucination#delusional#sad ending#bsd kouyou#bsd tachihara#port mafia#hurt/comfort#jangan dibaca dulu😭#belum selesai😭#soukoku#soukouku#psychology#trauma
2 notes
·
View notes
Text
jajah aku di bawah kursi warnetmu.

Tags : M+, blow job in public, trying to not get caught, kissing, local porn words, mention of genitals. // juvenesheets on twitter.
Hari ini, Taesan lagi-lagi tidak masuk sekolah. Ia berkata bahwa percuma saja dirinya duduk berjam-jam hanya untuk melihat ponsel karena musim ujian sudah selesai. Lebih baik ia habiskan waktu untuk membantu bisnis warung internet keluarganya.
Sebuah gedung dua lantai dengan karpet biru gelap serta dinding yang catnya sudah terkelupas, berdiri kokoh di antara ruko lain. Fasilitas warung internet keluarga Taesan cukup lengkap. Pendingin ruangan, freezer berisi berbagai minuman, hingga makanan ringan.
Jika sedang hari biasa seperti sekarang, warung internet ini sepi. Hanya ada orang-orang terdesak yang membutuhkan bantuan Taesan untuk mengurus file mereka atau memakai komputer untuk kepentingan pekerjaan.
Permuda bersurai temaram tersebut menghela nafas di atas kursi beroda pada salah satu meja komputer warnet. Layar komputer menyala terang, menunjukkan permainan RPG yang mulai bosan ia mainkan. Hanya memakai kaos putih oblong dan celana pendek, ia duduk selagi melipat dua kaki ke atas kursi.
Taesan jadi bertanya-tanya, kira-kira saat ini apa yang dilakukan oleh temannya di sekolah? Sorot matanya yang selalu mengingatkan banyak orang akan kucing hitam, melirik ke arah ponsel. Ranum sang pemuda tersungging sendiri karena mengingat bahwa ada seseorang tengah ia tunggu untuk datang. Lelaki yang mudah sekali tersulut panasnya, membuat masa-masa sekolah Han Taesan seperti yang ada di serial-serial televisi. Tidak monoton.
Donghyun, Leehan—tadinya Taesan tidak menganggap ada hal yang menarik dari nama tersebut. Justru, nama Leehan terdengar membosankan karena seringkali terlihat di mading dan foto-foto berfigura di sekolah dengan medali serta piala kejuaraan. Belum lagi pemuda tersebut senang menjadi bintang tepat pada hari Senin, pengumuman kemenangan dari setiap insan tersebut menunda Taesan masuk ke dalam kelas nyaman yang ber-AC.
Bahkan, melihat sang lelaki dengan jelas saja ia tidak pernah sama sekali. Pertama kali Taesan menelisik sang mentari dari sekolahnya atas hingga bawah tanpa terlewat satu fitur pun adalah kala ia tiba-tiba didatangi Leehan saat berlatih futsal.
"Bu Meerah bilang, kamu harus catet materi dari buku aku dan beliau mau kamu belajar bareng aku. Nilaimu di pelajaran Bu Meerah jelek banget."
Leehan mengatakan hal tersebut dengan nada serius, cukup kencang untuk membuat permainan yang sedang berlangsung berhenti dan banyak kepala menoleh kepada mereka. Lucu sekali mengingat pemuda dengan surai kecoklatan halus yang khas itu berdiri percaya diri masih memakai seragam basah akibat hujan. Ia menyusul ke tempat Taesan berlatih memakai motor.
Dasar budak guru. Harusnya Leehan tidak perlu repot-repot menyusul. Bahkan dengan senang hati kedua tangannya yang kepalang mulus menumpuk beberapa buku tulis miliknya untuk diberikan kepada Taesan.
Merasa dipermalukan, Taesan ingin sekali menolak. Ia menarik Leehan ke sudut sepi.
"Gue gamau."
Pemuda di hadapannya tidak terbiasa ditolak. Padahal banyak yang mengatakan bahwa wajah Taesan memiliki terlalu sedikit ekspresi di balik fitur tajam dan menawan yang ia miliki, namun rupanya si pandai ini tidak mudah menyerah.
"Kalau kamu gamau, nanti aku bilang ke Bu Meerah kamu ngapa-ngapain aku. Sampai satu badanku basah kaya gini. Mau aku balik ke sekolah lagi terus bilang begitu?"
Tengil sekali.
Taesan tidak memiliki cara lagi (banyak sekali sebetulnya) tetapi, Leehan membuat ia bungkam dengan wajah bertabur gula itu. Belum lagi kedua mata Taesan tidak bisa fokus, tubuh molek di hadapannya benar-benar disuguhkan secara cuma-cuma. Diguyur oleh hujan membuat seragam sang lelaki menjadi melekat lebih erat lagi.
Ada rasa terbakar di dalam dada ketika Taesan merasakan beberapa orang di tempat mereka melihat Leehan dengan tatapan dalam. Ia harus membawa anak ini pergi dari kandang karnivora, hanya itu satu fikirannya.
Taesan tidak suka belajar. Ia hanya suka bermain musik dan bermain bola, tetapi selama satu bulan lebih—ia tunduk pada jemari Leehan. Memberikan sang pemuda berkacamata kesempatan untuk singgah lebih lama. Lagipula, dengan wajah bak karakter yang keluar dari buku itu dan juga cara dia berbicara dengan penuh kelembutan, tidak akan membuat Taesan bosan. Hingga pada akhirnya ia menyesal karena tidak mengenal Leehan lebih awal.
Terdengar gila mungkin, tetapi faktanya pada tahun kedua semester akhir—ia berhasil menggaet hati sang pujaan hati. Hubungan dua sejoli yang tidak terduga itu kini bertahan hingga sekarang.
Dengan latar belakang serta sifat mereka yang bertolak belakang, mungkin warga sekolah akan menganga mengetahui berita ini. Bahkan tidak sedikit yang selalu memberitahu Leehan untuk bersadar diri bahwa Taesan hanya akan membawa masalah bagi masa depannya. Untuk apa juwita berbakat sepertinya menetap dengan seorang pemuda monoton seperti Taesan.
Taesan hanya bisa tertawa lebar setiap kali mereka melakukan hal seperti itu. Sebab, keesokan harinya, justru Leehan semakin menempel dengannya. Menunjukkan kepada semesta bahwa ia bahagia.
Jikalau mengingat kembali, memang kisah asmara mereka terdengar terlalu datar. Tipikal berandalan yang menjadi lebih baik karena kekasih kutu bukunya yang gila pendidikan. Namun, Taesan tidak pernah menyesali pilihannya untuk memilih Leehan. Sebab, sekarang Taesan telah menemukan cahaya baru untuk terus melangkah.
"San, cowomu datang tuh."
Pemuda dengan pakaian rumahan dan surai yang masih setengah basah itu menoleh. Kakak laki-laki Taesan yang sudah rapi memakai kemeja flanel dan juga jeans yang sudah luntur warnanya menunjuk pada sang kekasih yang tiba-tiba saja sudah hadir selagi melambai lucu.
"Gue mau ke kampus dulu ya, jaga warnet yang bener. Gue tinggal, bye. Marahin aja kalo Taesan nakal ya, Han," goda Sunghoon mengulas senyum tipis dan sedikit mendorong perlahan tubuh Leehan.
Leehan datang masih dengan seragam lengkap. Rapih tanpa lipatan. Taesan melangkah kepada sang juwita sebelum membantu yang lebih muda menaruh tas ranselnya di salah satu kursi warnet. "Bawa apa kamu, yang?"
"Cireng sekolah. Katanya kamu mau kan dari pas libur? Kebetulan tadi kantin yang buka udah lengkap."
Leehan memang perhatian sekali. Pantas saja, pemuda tersebut banyak sekali yang memuja. Taesan mengambil satu cireng isi dari plastik dan menghadiahi kekasihnya kecupan di pipi.
"Thanks, Cantikku."
Senyuman kecil hadir di wajah pemuda yang lebih tua menyadari semu merah muda beesemi di wajah mempesona Leehan. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut agar duduk di sebelahnya. Lalu, untuk beberapa waktu—ruangan itu hanya terisi oleh suara keyboard dan juga Taesan yang sibuk mengunyah cireng dengan tenang. Ia memberikan waktu bagi Leehan untuk tenggelam di dalam fikiran dan memperhatikan tampak Taesan yang bagai dipahat hampir sempurna oleh Tuhan.
Bibir bawahnya yang tebal, hidung mancung, dan rahang tegas sang pemuda. Kedua manik gelap Taesan yang disertai dengan bulu mata lentik itu tampak memikat. Ia senantiasa membuat Leehan tenggelam. Namun, tidak lama kemudian sorot mata juwita itu berpindah pada tubuh kekasihnya. Ada dua hal yang juga tidak kalah memikat dari Taesan, yaitu bisep dan pahanya yang kuat dan terbentuk karena latihan rutin. Saat ini bagian itu terekspos karena kaos tidak berlengan serta celana pendek sang kekasih yang sedikit tertarik ke atas.
Detak jantung Leehan terdengar tidak teratur, ia meneguk ludah. Maybe right now is the right chance to steal Taesan's attention?
"Jadi aku ke sini cuma buat nontonin kamu main lagi? Mending aku balik ke sekolah engga sih?"
Tanpa menoleh, Taesan masih berfokus pada layar namun kali ini ia memajukan bibirnya tanpa alasan. Jari-jarinya yang lincah itu bergerak lebih cepat di atas keyboard.
Leehan menghela nafas. Ia ingin mengerjai kucing hitam yang terlalu serius itu dengan cara berpura-pura bangkit untuk pergi. Tetapi, belum sempat ia benar-benar bangkit dari kursi—lebih dulu dua tangan menahan paha Leehan agar tetap duduk.
"Aku lagi ngisi perut, permainan aku baru selesai. Siapa bilang kamu cuma nontonin aku main hari ini?" tanya Taesan mengubah posisi duduk menjadi ke arah Leehan, menukik alisnya selagi berbicara.
Paha Leehan diremas oleh yang lebih tua.
Lalu perlahan jemari Taesan naik ke atas untuk menarik dasi abu-abu milik Leehan agar wajah mereka mendekat. Dengan jarak sedekat ini, mereka dapat merasakan nafas satu sama lain.
Taesan melirih, "Kamu laper juga engga, Han? Mau diisi juga engga perutnya?"
Aduh, kok bisa tiba-tiba saja kekasihnya yang kepalang cuek itu merubah situasi secepat ini?
Leehan menggeleng. Ia ragu setiap kali hubungan mereka maju ke tahap yang lebih intim, namun jika itu Taesan, bisa apa dia? Ia rela memberikan apa saja asal laki-laki itu mau membubuhinya dengan ciuman kupu-kupu, pujian, dan juga senyuman puas. Toh, Leehan yang memulai dia juga harus membuka jalan lebih lebar untuk sang lelaki tercinta.
"L-laper, panas juga, San—Ngggh Mmph !"
Ucapan Leehan berhenti pada saat Taesan memaksa agar ranum mereka bertabrakan. Mereka memang sering bercumbu di mana saja. Walaupun Leehan paling menyukai pada saat ciuman pertama yang diberikan oleh Taesan pada saat ia begitu bahagia kala memenangkan pertandingan dengan musuh kebuyutannya sejak sekolah dasar di halaman belakang sekolah mereka. Ia masih ingat, hanya dengan satu kali ciuman itu mengajarkan Leehan yang belum pernah mencium orang sama sekali kini menjadi semakin lihai.
Dua insan saling memagut dan menghisap bibir satu sama lain seolah-olah mereka berada di dunia sendiri. Padahal, setiap barang di warung internet itu pasti terdiam iri menjadi saksi mereka yang bercumbu panas di saat matahari sedang terik-teriknya. Tangan Leehan sudah berpindah untuk meremat-remat surai sang kekasih, pahanya merapat untuk memberikan afeksi bagi bagian selatan si kecil yang sudah sesak hanya karena sentuhan pada bibir.
"Hhhah, nanti ada yang lihat—San, Esan," syahdu dari bibir Leehan memprotes akibat tubuhnya Taesan bawa agar terduduk di atas pahanya yang kuat itu.
"Katanya mau dipangku?"
Benar, sih. Pipi Leehan memerah lucu bagai buah persik segar. "Nanti kamu keberatan."
"Sayang, I could pick you up easily. You are perfect for me. Aku latihan buat manjain kamu kaya gini, Cantik," balas Taesan dengan tangan yang bergerak untuk meremas pinggang ramping sang juwita lalu bersiul menggoda ketika sengaja mengeluarkan seragam Leehan dari celana dan melihat jelas lekuk tubuh sang kekasih.
Ia memang terkadang bersikap memalukan.
Walaupun ingin berlari rasanya, ia tetap memberikan lampu hijau bagi Taesan untuk membuka dasinya dan beberapa kancing dari seragamnya. Memberikan pemandangan manusia terindah yang pernah Taesan tatap.
"San, Nnh, jangan ditandain ya?"
Taesan mengangguk mengerti, tidak diberitahu pun ia sudah mengerti. Mereka tidak mau mengambil resiko dengan berakhir dihusir dari rumah atau dijawil kencang pada bagian telinga. Maka, bibir Taesan hanya mengecupi dan membasahi sedikit bagian selangka Leehan yang putih tanpa noda.
Kacamata Leehan sudah hilang entah kemana, toh siapa yang peduli? Dengan sentuhan Taesan sendiri saja dia mampu menggelinjang nikmat, ia percaya sekali atas tuntunan sang kekasih atas segalanya. Birahi menutup segala dari manusia, termasuk kewarasan.
"Kenapa ahh kamu besar dimana-mana sih?" lirih Leehan tanpa rem. Ia gigit bibirnya merasakan bibir Taesan sudah memanjakan bagian sensitif di dada Leehan yang mencuat gemas. Jemari satunya juga tidak luput memilin dan mencubit puting laki-laki itu yang tidak tersentuh.
Kedua tangan Leehan dari tadi meremat bisep Taesan, merasakan otot sang pemuda yang terbentuk. Pacarnya memang XL. Apalagi di bagian bawah sana. Membayangkan benda berurat itu saja membuat perut Leehan berbunyi. Dia lapar dan kepanasan betulan, tidak bohong.
Kala mereka kembali memakan bibir satu sama lain, saling berperang lidah dan gigi, Leehan dapat merasakan celana pendek yang dipakai Taesan mencetak tenda. Menusuk-nusuk bagian bokong Leehan yang hanya dilapisi seragamnya yang saat ini sudah agak sempit (sebab mereka sudah mau lulus dan dia enggan mengganti).
"Han, Sayang, kamu laper kan tadi?"
Taesan bertanya ketika Leehan masih mengatur nafas dan masih mengumpulkan segala sel dari otaknya untuk mencerna setiap kata. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Berantakan sekali pria cantik itu dibuat oleh murid yang ditutornya sendiri.
Tali celana pendek Taesan ia buka.
"Sesek dia, Han. Kasian, mau engga bantuin? Makan ini aja, ya? I miss you getting messy with my milk all over your pretty face."
Muka pengen dari Taesan selalu sukses membuat Leehan ingin menurutinya. Ia tampak lucu dengan kedua mata berkilauan. Tapi, yang lebih muda belum merasa bahwa tawaran itu cukup. Han Taesan harus memohon di hadapannya.
"Kenapa harus?" tanyanya dengan tangan yang sengaja jatuh ke bawah, membelai gundukan kekasihnya dengan perlahan.
Taesan menggeram merasakan sentuhan tersebut. Kalau diteruskan, mungkin saja Taesan akan kehilangan kesabaran dan berakhir memainkan jarinya pada senggama sempit sang juwita selagi mendorong tubuh ramping itu ke meja warnet. Namun, ia tidak pernah tega dengan Leehan.
"Please, Han. Aku engga kuat, mau bibir kamu di sini. Sepongin kontol aku di bawah meja."
Gila memang, apa Taesan benar-benar menginginkan mereka melakukan kegiatan asusila di warung internet keluarganya? Bagaimana jika seseorang masuk? Bagaimana jika mereka terciduk lewat kamera? Bodoh, harusnya Leehan pikirkan itu sejak mereka berciuman jauh beberapa menit yang lalu.
"Serius kamu? Nanti kalau ketahuan—"
"Aku jagain, engga akan ketahuan. Ayo ke bawah," bisikan Taesan yang meyakinkan lantas membawa Leehan untuk memasang bendera putih. Dengan kaki sedikit lemas ia turun ke bawah. Mengisi ruang kecil di bawah meja dan langsung berhadapan dengan selangkangan sang kekasih.
Bahkan belum dimulai pun, Leehan terlihat manis di bawah sana. Matanya mengedip polos dan bertanya-tanya apakah dia harus melakukan itu sekarang?
Blow job mungkin adalah satu hal yang kini menjadi rangkaian maksimal di hubungan mereka. Tidak ada yang lebih daripada menghisap penis satu sama lain atau memasukkan jari memanjakan lubang Leehan yang masih sempit sekali. Meskipun begitu, Leehan masih belum berpengalaman (baginya.)
Hanya pujian dan juga suara-suara yang keluar dari mulut Taesan, satu-satunya validasi bagi Leehan jika dia sudah melakukan semuanya dengan baik. Karena itu lah—ia gugup.
"Jangan gigit, ya," ucap Taesan lembut ketika ia sudah berhasil menurunkan celana pendek dan juga celana dalamnya.
Penurut sekali Leehan, pelan-pelan ia mendekatkan diri. Satu tangannya memegang batang penis dari sang kekasih yang berukuran tidak kecil. Ia merasakan guratan urat pada benda Taesan yang tengah mengacung sempurna. Leehan senang, ia adalah alasan hormon sang kekasih memuncak.
Ia kocok perlahan atas-bawah penis Taesan, sebelum menjulurkan lidah untuk merasakan ujung kepala kejantanan tersebut. Matanya tidak lepas dari pandangan sayu yang lebih tua ketika ia perlahan-lahan memasukkan penis kucing hitam kesayangannya ke dalam mulut.
"Ah, shit, Kenapa pinter banget?" puji Taesan tersenyum lemas kala Leehan tanpa terbatuk mampu mencapai ujung penisnya. Menghidu wangi khas lelaki tersebut yang jantan.
Leehan mulai bergerak untuk menghisap batang penis Taesan, menjilat, serta menggerakkan kepalanya beraturan dalam ritme pelan. Ia lepas sesekali untuk mengocok lagi penis yang lebih tua.
Wajah Leehan berkeringat.
"Harusnya aku bawa kuciranku ya? Nnh, biar aku tariknya enak—rambutmu udah panjang, ahh, aku pengen liat jelas kontolku keluar masuk mulut kamu, Han," protes Taesan tersendat-sendat, jari-jari panjangnya mulai menyisir surai halus kecoklatan sang kekasih.
Cairan pre-cum mulai keluar dari kejantanan Taesan ketika seseorang melangkah ke lantai atas cukup cepat hingga membuat mereka terdiam kaku. Demi Tuhan, ingin sekali ia mencakar paha Taesan karena pemuda itu sudah janji bahwa mereka tidak akan tertangkap basah namun sekarang ada seseorang di warnet bersama mereka. Untungnya, sisi depan mereka berdua tidak akan terlihat karena tertutup meja.
"Dek ! Mas lupa ada flashdisk ketinggalan, aduh pelupa banget gue. Loh? Kenapa keringetan gitu?" Mas Sunghoon rupanya.
Jari telunjuk Taesan memberikan isyarat ke bawah agar Leehan diam. Ia hanya tersenyum gugup lalu berkata, "Panas di luar, Mas. Sampe ke dalam, haha."
Mas Sunghoon ber-oh ria lalu melangkah perlahan menjauh dari meja Taesan meskipun matanya masih dengan curiga menatap sang adik yang entah mengapa duduk di kursi warnet tanpa memainkan game.
"Leehan mana dek? Bukannya tadi ada?"
Damn.
Taesan melirik Mas-nya yang dengan jelas melihat tas dan juga dasi Leehan yang tadi terhempas asal. Ia berusaha menenangkan pacarnya yang tengah berperang dengan batin sendiri dengan cara mengelus kepala Leehan. Tetapi, entah mengapa justru tangan tersebut berpindah ke tengkuk yang lebih muda—membuat Leehan mau tidak mau kembali menyesap penis miliknya.
"K-Ke toilet, Mas, duh sialan," jawab Taesan lalu dengan cepat memukul mulutnya yang tanpa izin mengeluarkan umpatan.
Nikmat sekali ketika dengan lihai Leehan menjadi boneka penurut, memejamkan matanya di bawah sana dan menghisap penis Taesan. Mempercepat gerakan karena ia ingin ini semua cepat selesai. Suara yang mereka buat sebetulnya cukup berisik, licin dan basah, dengan suara desahan kecil dari Leehan di bawah meja. Hal itu disebabkan karena kaki telanjang Taesan dengan jahilnya menggesek pada selangkangan Leehan.
"Nah ini dia flashdisk gue ! Gue cabut lagi ya, San. Lu beneran gapapa ini gue tinggal sendiri? Muka lu merah loh," tunjuk Sunghoon dengan wajah sedikit khawatir. Jemarinya memutar-mutar kunci dengan lincah.
Iya, sumpah Taesan tidak apa-apa. Dia sedang setengah di nirwana sekarang karena ada yang tengah menghisap kuat penisnya hingga puas di bawah meja. Sekarang, cepat Mas pergi dong.
"Aman Mas, aman. Hati-hati y—ah Mas."
Hanya itu yang mampu Taesan keluarkan sebelum memastikan sang Kakak sudah pergi dari warung internet mereka. Ia sudah sange berat ketika menatap kondisi Leehan di bawah sana ternyata sudah mengeluarkan penisnya dari seragam dan mengocok perlahan dengan mulut yang masih bertengger pada kejantanannya.
Seksi sekali.
"Aku bentar lagi sampai, Han," lirih Taesan yang akhirnya bernafas lega dan bisa lanjut menuntun kepala Leehan agar kembali menghisap penisnya yang membesar.
Ia bergerak maju mundur dengan cepat hingga mentok di ujung tenggorokan. Pujian demi pujian Taesan keluarkan, ia merintih kenikmatan karena kehangatan yang mengokupasi penisnya.
"Sayang, aku keluarin di muka ya?"
Leehan menyungging senyum tipis menunjukkan bahwa ia akan menerima apapun dari sang kekasih. Tidak membutuhkan waktu lama sebelum pandangan Taesan memburam dan ia melepaskan kejantanannya dari mulut Leehan. Ia mendesah panjang kala cairan putih berhasil keluar beberapa kali dari penis panjangnya itu. Muka Leehan menjadi kotor.
Bahkan sisa sperma Taesan juga meleleh di lidah kekasihnya yang lebih muda karena ia tidak menutup mulut. Kalau Taesan tidak menahan diri, mungkin bagian selatan pemuda itu sudah berdiri lagi. Ternyata, Leehan pun mengotori tangan dan seragamnya di bawah sana. Mereka sampai bersamaan.
Jemari lentik Leehan menghapus lukisan sperma di atas wajah sebelum membawanya untuk ditelan ke dalam mulut. Pemandangan erotis yang ingin sekali Taesan pajang selamanya.
"Awas aja kalau sampai Mas kamu tahu, aku tebas kelamin kamu ya, San !"
Taesan meneguk ludah. Sang juwita jadi galak setelah peristiwa tadi rupanya. Tetapi tidak apa-apa, tidak ada yang harus pemuda bersurai temaram itu sesali. Sebab, ia sudah dimanjakan oleh Leehan hari ini dengan servis bintang lima.
End.
6 notes
·
View notes
Text
Memaksa diri bahkan sampai menjadi orang lain hanya demi mempertahankan hubungan, percayalah itu berat. Karena aku bukan mesin pencetak bahagiamu, sebab aku pun sama, ingin bahagia. Tapi kau lupa, atau kau sengaja lupa, ada berapa banyak inginmu yang aku turuti, sampai-sampai keinginanku sendiripun aku pendam tanpa menagihnya padamu, karena aku tahu, kau tak pernah peduli akan hal itu.
Terbangun dari tidur dengan sisa air mata yang lembab seolah menjadi sarapan pagi ku, dan kembali berdebat entah lewat ponsel atau bertatap muka pun aku tahu, itu menu hidangan yang kau sajikan untukku.
Entah terbiasa, atau mati rasa. Sebab selama masih bersamamu, aku hanya diberi asupan dua hal. Pertama luka. Kedua kecewa. Dan itu menjadi santapan yang harus aku telan.
Sampai kapan seperti ini, lebih tepatnya kau yang kapan akan berubah. Tapi, jika memang kau sengaja tidak mencari cara, maka biarlah aku menggunakan caraku yang memilih berhenti. Karena ego mu terlalu tinggi, dan semua keinginanmu yang sudah tak bisa lagi ku penuhi.
_____________________________________________
🍁🌺PENAKU✍

6 notes
·
View notes
Text
Surat Ketiga
Kepada Haidar,
Aku menulis surat ini bukan hanya karena ingin mengenangmu, Haidar, tapi mungkin juga untuk menjelaskan pada diriku sendiri mengapa kamu begitu lekat di pikiran. Kamu bukan cinta klasik, bukan kenangan yang bisa kusimpan rapi dalam kotak nostalgia. Kamu adalah kekacauan; kamu seperti kekosongan yang kadang menyesakkan, kadang justru membuatku lega. Dan betapa anehnya, betapa gilanya, karena justru itulah yang membuatmu begitu sulit kuhapus dari dalam benak.
Kita bertemu secara tak terencana, dengan latar belakang yang terlalu sederhana untuk cinta semacam ini. Aku masih bersama mantan kekasihku saat itu—teman SMP-mu. Kamu, bagaimanapun, bukan bagian dari latar belakangku. Kamu muncul dengan keisengan yang tak kukira akan begitu menarik perhatianku.
Sore itu, kamu mengambil ponsel kekasihku dan mulai membalas pesanku dengan cara yang begitu berbeda—sarkastik, seolah menciptakan ruang kecil di tengah-tengah percakapan yang harusnya sederhana. Sejak saat itu, aku mulai merasa bahwa kamu adalah pusat dari suatu kekosongan yang mulai merambat ke hidupku. Kamu memberi ruang yang asing, dan aku merasa seolah baru mengenal udara yang lebih segar.
Di angkot suatu sore, kita bertemu lagi, dalam hujan yang menciptakan suasana serupa adegan dalam film yang tak pernah kubayangkan akan kualami sendiri. Kamu menatapku, menyapaku dengan tawa yang seolah-olah menyimpan sesuatu yang hanya bisa kita mengerti. “Cie-cie!” candamu waktu itu begitu kekanakan. Aku tertawa untuk menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba menyergap. Apa maksud dari kehadiranmu ini? Kenapa, di antara semua orang, hanya kamu yang bisa membuatku merasa seperti terlempar keluar dari segala yang kuanggap pasti?
Hujan sepertinya menjadi simbol antara kita, selalu ada dalam setiap momen-momen kecil yang tak terduga. Suatu kali, di teras toko kecil di pinggir jalan, kita bertemu lagi dalam keadaan yang serupa: kamu, berdiri di sana, sedikit canggung. Aku, yang biasanya terlalu rasional, memberanikan diri menulis surat dan memberimu puisi cinta kecil yang sederhana, disertai dengan cokelat KitKat. Apa itu berlebihan? Mungkin, tapi untuk pertama kalinya, aku ingin melakukan sesuatu yang tidak masuk akal hanya untuk menghibur hati yang begitu asing dengan perasaan ini.
Namun, mungkin kamu tidak pernah benar-benar menganggap serius setiap isyarat yang kuberikan. Di Alfamart, kita bertemu lagi secara tak sengaja, kamu menyembunyikan diri di balik rak, wajahmu sedikit bersemu, dan aku? Aku tertawa, berpura-pura tak peduli, sementara dalam hati aku ingin sekali mendekat dan mengungkapkan segalanya. Tapi kata-kata terlalu sederhana untuk sesuatu yang kompleks ini. Kamu bukan hanya seseorang yang bisa kupeluk dan kusayangi; kamu adalah kontradiksi dalam hidupku—sesuatu yang seharusnya kumiliki tapi sekaligus ingin kuhindari.
Kuliah akhirnya memisahkan kita, dan kesibukan sehari-hari mulai mengambil alih. Namun, kenangan tentangmu muncul dalam benak seperti kilatan cahaya yang tak bisa kuabaikan. Di tengah malam yang sunyi, aku masih bisa mendengar tawa dan ejekan kecilmu, membayangkan wajahmu yang selalu penuh teka-teki. Beberapa kali aku mencoba menghubungimu dengan dalih tugas kuliah, berharap kamu masih menyimpan sedikit ruang untukku, bahkan jika hanya sebagai bayangan masa lalu yang tak tuntas.
Aku masih ingat malam ketika aku memutuskan untuk menyatakan perasaanku lagi, kali ini dengan segala keberanian yang kupunya. Ketika kamu menerimanya, aku merasa seperti berada di puncak dunia. Namun, betapa ironisnya, cinta ini hanya bertahan tiga hari. Tiga hari, Haidar, seakan semesta menertawakan kebodohanku, memaksaku untuk melihat bahwa mungkin kamu tidak pernah menjadi bagianku yang sebenarnya.
Sejujurnya, sekarang aku tidak tahu bagaimana mendefinisikan rasa ini. Mungkin kamu bukan cinta, bukan pula sekadar kenangan. Kamu adalah sebuah paradoks, misteri yang tak pernah bisa kupecahkan. Kamu adalah seseorang yang muncul hanya untuk menyisakan lubang besar di hatiku, ruang yang tak mungkin terisi kembali. Setiap kali aku mencoba melupakannya, keanehan dan ketidakpastian yang kamu tinggalkan justru semakin memperjelas bahwa kamu adalah bagian dari hidupku yang tak terhapuskan.
Jadi, Haidar, jika suatu saat kita bertemu lagi, mungkin kita bisa berbicara sebagai dua orang dewasa yang sudah meninggalkan masa lalu. Atau mungkin, kita akan tetap diam, seperti dua bintang yang saling menjauh di langit, terhubung oleh cahaya yang pernah berpendar tapi tak pernah bersatu. Di antara ketidakpastian ini, aku tahu satu hal: cinta ini mungkin tidak klasik, tidak bahagia, tapi ia nyata. Kamu adalah absurditas dalam hidupku, dan aku tak menyesali perasaan ini, meskipun ia hanya meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.
Dengan kerinduan yang tak pernah hilang,
Teman SMA-mu.
Untuk : Yusufa Haidar.
3 notes
·
View notes
Text
Tanggal Spesial.
Ada banyak tanggal yang membuatku spesial setiap tahunnya dengan alasan beragam, mulai dari hari kelahiran, kejadian bersejarah, sampai perayaan hari besar kenegaraan. Selalu spesial. Tapi kali ini izinkan ku bercerita satu tanggal spesial yg sempat terlupa. Tanggal dimana seorang manusia lahir. Tanggal dimana celana kerjaku robek terseret aspal oleh sebab sebuah kecelakaan motor melawan ojol yg mendadak tancap gas belok kanan dari posisi paling kiri, tanpa aba-aba, lalu menuntutku bertanggung jawab tapi kabur saat hendak ku bawa ke jalur hukum. Tanggal dimana tahun ini aku sedang sibuk-sibuknya mengurusi satu acara besar hingga baru tersadar betapa spesialnya tanggal ini keesokan harinya.
Malam itu, saat ku lihat kalender, mematung memandangi sebuah tanggal. Mataku berputar seraya mencerna ada apa dengan hari ini dan kemarin. Tek. Aku tersadar sesuatu. Tanggal penting dan spesial itu. Ah, kemarin. Sudah lewat. Ritual tahunan ku tak berjalan tepat waktu kali ini. Seketika aku teringat seseorang. Kangen. Rindu. Memori-memori menyenangkan sekian tahun silam berputar di kepala. Rasa rindu dan asa mengulang kejadian yg sama memenuhi pikiran. Kok kangen ya, batinku.
Entah, tahun ini sungguh berbeda. Rindunya membabi buta. Air bah tumpah membanjiri pipi. "Ya Allah aku kangen, banget!" ucapku pada sang khalik seraya melantunkan doa-doa baik. Empat tahun terakhir, di tanggal yang sama, tanpa kabar dan jejaknya, aku masih mampu mengontrol diri, melantunkan banyak semoga tanpa asa mengulang rasa. Mengapa tahun ini berbeda?

Ada satu kejadian unik kali ini. Aku telah menceritakannya langsung ke banyak orang yg bisa ku ajak bicara menyerempet deep talk, dengan sebuah pembukaan, "Lu pernah gak sih ..." kali ini aku ingin menanyakan hal yang sama padamu. Kamu pernah gak sih lagi kangen banget sama orang yang udah bertahun-tahun lost contact, gak punya akses untuk mengobati rindu, bahkan sekadar melihat update kehidupannya pun gak bisa, tapi secara tiba-tiba dia hadir, lagi, memunculkan namanya di depan matamu. Pernah gak? Aku pernah!
Seusai mengusap pipi dan menarik nafas panjang, aku membuka ponsel dan membaca satu notifikasi. Permintaan pertemanan dari orang yang baru saja selesai ku sebut namanya, baru saja selesai ku lafalkan banyak semoga untuknya, baru saja selesai kuadukan pada Tuhanku bahwa aku merindunya. Baru saja aku memasrahkan diri untuk "Gapapa gak bisa ketemu, gapapa gak bisa mengulang memori baik di masa lalu, gapapa gak saling tahu kabarnya" dan aku menitipkan orang itu pada Tuhanku, meminta-Nya untuk menjaga dia, membuatnya mampu membahagiakan semua orang di sekelilingnya termasuk teman-teman dan keluarganya, menjadikannya tumbuh menjadi sosok terbaik di hidupnya. Baru saja aku 'melepasnya' bersamaan dengan ku lepas bulir-bulir dari mata ku. Baru saja.
Namun seketika Allah mengobati rasa rinduku. Menghadirkan namanya di akun media sosialku. Terkejut bukan main aku saat itu. Sebentar. Ini apa nih? Jalan macam apa yg sedang Allah siapkan untuk ku. Sistem kehidupan seperti apa yg sedang bekerja di sekelilingku saat ini? Kaget, haru, ragu, masih tidak menyangka. Aku bahkan sempat memandangi notifkasi itu belasan menit, menatap layar, menaruh ponsel, ku ambil lagi, ku pandangi lagi, berulang sampai dua jam berikutnya, sesekali disela teriakan histeris ku di bawah bantal saking girangnya.
Setelah aku mulai menenangkan diri, ku terima permintaan pertemanan tersebut. Mencoba mencerna apa yang terjadi dan ikut membalas permintaan pertemanan. Keesokan paginya, aku mengumpulkan semua keberanian yang ku punya, mengubur dalam-dalam gengsi yang meninggi. Setelah membaca riwayat percakapan kami sekian tahun silam, ku kirim sebuah pesan sederhana, "Hola. Masih dengan (orang) yang sama kah?" Lalu mengucapkan terima kasih. Sejatinya rasa terima kasihku itu untuk beberapa hal. Pertama, terima kasih sudah muncul kembali. Kedua, terima kasih sudah bersedia menyambung lagi tali silaturahmi. Ketiga, terima kasih sudah mengobati rindu yang menggebu ini. Keempat, terima kasih sudah mempermudahku mengucap selamat dan menyampaikan beberapa harap sederhanaku secara langsung tanpa perantara angin dan malam. Kelima, terima kasih sudah mengizinkanku mendapatkan kabarmu. Keenam, terima kasih pernah menjadikanku merasa sangat dihargai dan disayangi dengan tulus meski hanya sebatas teman. Ketujuh, terima kasih masih hidup di bumi dan membuatku semakin yakin akan kuasa dan kebaikan Tuhan tak terhingga jumlahnya.
Unik bukan? Saat kita kangen brutal dengan seseorang tapi tak bisa berbuat apa-apa selain mendoakannya, saat itu pula orang yang kita kangeni justru datang menghampiri kita dengan sendirinya. Entah semesta berencana apa. Seorang kakak pernah menyampaikan, "Terkadang di sekitar kita memang ada sistem kehidupan yang bekerja seperti itu, yang kita gak bisa memprediksinya tapi itu nyata" dan ya entah sistem apa yang sedang semesta jalankan saat ini. Apapun itu, aku hendak berucap terima kasih pada sang pencipta dan semesta yang telah memberikan cerita yang begitu luar biasa menakjubkannya di hidupku. Meski apa yang terjadi saat ini belum sepenuhnya sesuai harapanku untuk mengulang hal baik di masa lalu, setidaknya aku tidak lost contact lagi dengan orang itu. Terima kasih, Semesta. Alhamdulillah.
Kemayoran, 3 September 2024
Aku, yang lagi-lagi sudah merindu.
@meldaijw
Btw, permen in frame: nemu di meja kerja.
2 notes
·
View notes
Text
Bisakah Anda Mengunduh Video YouTube Langsung ke iPhone atau Android Anda?
Ada apa, semuanya? Pernahkah Anda dalam penerbangan panjang atau perjalanan berjam-jam dengan mobil dan berharap memiliki beberapa video YouTube di ponsel Anda? Ya saya juga. Bisakah Anda mengunduh video YouTube langsung ke iPhone atau Android Anda? Jawabannya adalah ya, dan saya akan menunjukkan caranya.

Mengapa Anda Ingin Mengunduh Video YouTube?
Pertama, mengapa Anda ingin mengunduh video? Jawabannya bagi saya sederhana: kenyamanan. Mengunduh video berarti saya dapat memiliki beberapa konten favorit di ujung jari saya, di mana saja dan kapan saja, tanpa memerlukan Wi-Fi atau data. Selain itu, ini adalah penyelamat saat Anda tidak punya aktivitas dan tidak ada koneksi internet.
Cara Download Video YouTube di iPhone
Sebagai pengguna iPhone, saya merasa ekosistem Apple agak tertutup, namun ada cara untuk mengatasinya.
Menggunakan Pengunduh Online Salah satu cara yang saya temukan adalah salah satu cara yang lebih mudah. Inilah cara melakukannya.
i. Buka Safari dan buka Y2mate.so. ii. Sekarang, lanjutkan dan cari video YouTube yang ingin Anda unduh. Salin URL-nya. iii. Sekarang, buka Y2mate dan tempel URL-nya. Tekan Cari. iv. Tekan tombol Unduh. v. Kemudian, Anda dapat memilih format dan kualitas yang diinginkan. vi. Terakhir, tekan tautan dari unduhan untuk mengunduh video. Anda bahkan dapat menggunakan aplikasi File untuk memindahkannya langsung ke aplikasi Foto Anda. Saya sudah melakukan ini cukup sering, dan hasilnya memuaskan. Pada awalnya, ini tampak agak berbelit-belit, tetapi sebenarnya sesederhana itu.

Cara Download Video YouTube di Android
Pengguna Android memiliki waktu yang lebih mudah. Dengan Y2mate, Anda dapat dengan mudah mendownload video secara langsung.
Menggunakan Y2mate.so
Inilah cara Anda melakukannya:
i. Buka browser Anda dan buka Y2mate.so. ii. Dapatkan tautan video YouTube yang perlu Anda unduh, lalu salin. iii. Rekatkan tautan ke bilah pencarian Y2mate.so dan tekan tombol unduh. iv. Pilih format dan resolusi yang Anda inginkan. v. Unduh, dan video disimpan ke perangkat Anda. Sekarang, Anda dapat mengkliknya untuk menikmati videonya. vi. Saya ingat menggunakan Y2mate berkali-kali, jadi ini lebih sporadis dibandingkan biasanya ketika saya bepergian melalui area yang ada internet. Itu menyelamatkan saya dari banyak kebosanan.
Temukan lebih lanjut: Cara Kerja Y2Mate dan Fitur Utama
FAQ
Q1: Apakah legal mengunduh video YouTube? Dan: Ini adalah wilayah abu-abu. Mengunduh video dari YouTube melanggar persyaratan layanannya, kecuali jika memungkinkan pengunduhan menggunakan fitur offline aplikasi YouTube. Selalu hormati undang-undang hak cipta dan hanya unduh video untuk penggunaan pribadi.
Q2: Apakah ada risiko yang terkait dengan pengunduhan video dengan cara ini? Dan: Mengunduh video dari sumber tidak resmi dapat membuat perangkat Anda terkena malware. Selalu gunakan situs dan aplikasi terkemuka, seperti Y2mate, dan hindari apa pun yang terlihat mencurigakan.
Q3: Bisakah saya mengunduh video dalam format berbeda? Dan: Ya! Y2mate memungkinkan Anda memilih dari berbagai format dan resolusi untuk memilih opsi terbaik.
Q4: Apakah Y2mate berfungsi untuk mengunduh playlist YouTube? Dan: Sangat. Y2mate mendukung pengunduhan daftar putar, sehingga memudahkan pengambilan banyak video sekaligus.
Q5: Bisakah saya berbagi video yang diunduh dengan teman? Dan: Secara teknis, video yang diunduh dimaksudkan untuk penggunaan pribadi saja. Membagikannya mungkin melanggar persyaratan layanan dan undang-undang hak cipta YouTube.
Kesimpulan
Jadi, itu dia. Baik Anda memiliki iPhone atau ponsel berbasis Android, Anda dapat mengunduh video YouTube langsung ke perangkat Anda menggunakan Y2mate. Prosesnya sedikit lebih rumit, namun waktu dan sakit kepala yang Anda hemat dalam jangka panjang lebih banyak daripada riasan untuk usaha ekstra. Cobalah dengan Y2mate, dan nikmati tontonan offline Anda!
2 notes
·
View notes
Text
SUARA TANGISAN DI MALAM HARI

Tengah malam dengan lapar yang melanda bukanlah kombinasi yang bagus. Pertama, karena malam aura kostan sangat tidak bersahabat bagi penakut seperti Asan. Kedua, Asan penakut. Pada intinya, nyali lelaki itu hanya secuil saja.
Tapi, perutnya semakin meronta untuk minta diisi. Maka dia coba lawan rasa takut itu dengan mencoba membayangkan mie kuah dengan telur dan cabai iris di atasnya. Begitu nikmat hingga dia memberanikan diri untuk keluar dari biliknya.
Baru saja pintu terbuka, sayup-sayup terdengar suara tangisan yang entah datangnya dari mana. Belum apa-apa bulu kuduknya sudah meremang jabrik. Maka dia mundur satu langkah dari pintu untuk berdoa dalam hati terlebih dahulu. Setelahnya, dia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi belaka.
Asan bergerak cepat untuk mengunci pintu kamarnya. Namun suara tangisan tersebut semakin jelas terdengar. Sebab Asan tidak berani untuk menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, maka dia percepat kegiatannya. Dua langkah baru saja dia lakoni, suara tangisan semakin jelas. Kali ini dia berada di depan pintu kamar Isan. Tangannya sibuk memegang ponsel dan mie instan, sedang telinganya mencoba didekatkan ke daun pintu. Benar saja, suara tangisannya muncul dari dalam sana.
Apa ada hantu bersarang di kamar tetangga barunya itu? Atau malah Isan yang menangis di tengah malam?
Kali ini rasa takutnya perlahan memudar karena sudah menemukan di mana sumber suara yang sempat membuatnya merinding itu. Dia mencoba mengetuk daun pintu karena terlalu penasaran, “San? Isan?”
“ITU SIAPA DI LUAR? PLIS TOLONGIN AKU!! HUWEEEEE!!!”
“Hah?” Asan semakin merinding karena suara tangisan itu kini berubah menjadi suara orang meminta tolong. Kalau saja dia tidak malu, pasti dirinya sudah mengompol di tempat. Namun sekali lagi dia tekankan, bahwa di dalam sana adalah kawan barunya. Bukan makhluk tak kasat mata yang meminta tolong.
Asan menarik nafas lebih dulu sebelum kembali buka suara, “kenapa, San? Minta tolong apa?” Dia berusaha setenang mungkin meski jantungnya berpacu begitu cepat.
“Eh, tapi lu manusia apa bukan?” Terdengar bodoh memang pertanyaannya, tapi Asan ingin memastikan sendiri kalau yang ada di dalam benar-benar makhluk hidup sama seperti dirinya.
“IYAA AKU MANUSIA!” Ada sedikit teriakan dari dalam sana. Mungkin karena kesal ditanya demikian. “Tolongin aku, hiks, aku kekunci di kamar mandi!!”
“HAH? BUSET. KOK BISA?” Kini malah Asan berubah panik.
“Ya, enggak tau!! Hng tolongin aku, plis. Pintunya gak bisa dibuka. Tolong buka dari luar!!”
“Gimana caranya?”
“Masuk aja ke kamarku. Terus buka pintu kamar mandinya dari luar.”
“Ini gapapa nih gue masuk?”
“Masuk aja gapapa! Pintu kamarnya gak dikunci! ” Tukas Isan di sela tangisannya yang langsung dilakoni oleh tetangga barunya detik itu juga. Dan benar saja, pintunya tidak dikunci sama sekali.
“Buset, beneran gak dikunci. Kok gak dikunci si? Nanti ada orang gila masuk lho,” komentar Asan setelah berhasil membuka kenop pintu. “Emang iya bakal ada orang gila masuk?” Tanya Isan dari dalam sana, “kagak tau, sih. Gue asbun doang.”
Aroma daun teh menyerbu indra penciumnya. Netra menyisir ruang sekitar seraya menaruh mie instan di atas meja Isan, “kamar lu rapih amat. Rajin lu ya?” Duh, Asan terlalu banyak berkomentar!
“Huwee, Iya, aku rajin,” sambar Isan tidak sabaran, “plis cepet tolongin aku. Aku udah hampir setengah jam di sini. Dingin banget!” Ada suara sedotan ingus dari bilik kamar mandi yang mengundang tawa kecil dari seorang Asan. Lucu sekali mendengar suara bindeng Isan yang biasa ketus, kini malah memohon padanya dengan amat sangat.
“Bentar. Udah, jangan nangis. Bakal gua tolongin kok.” Asan berusah menenangkan kawan barunya itu seraya membuka kenop pintu kamar mandi. Benar saja, pintu itu macet dan tidak bisa terbuka. Dia mencoba melihat ke sana ke mari, melihat apakah ada benda yang bisa digunakan untuk mencungkil pintu atau mengotak-atik gagangnya. “Lu punya obeng gak?”
Isan menggeleng dari balik pintu, “enggak. Huwee Asan, gimana dong?”
“Yaudah, tunggu dulu. Gua ke kamar dulu.” Baru saja tungkainya hendak beranjak, lebih dulu Isan memanggil, “ASAN, tapi kamu bakal balik lagi kan? Bakal bantuin aku kan?” Ada suara gelisah dari balik sana. Asan yakin Isan begitu ketakutan untuk ditinggal.
“Iye, tenang aja. Gua ambil obeng dulu di kamar. Nanti gua balik lagi.”
“Makasih, Asan …” Kini Isan lebih melembut dari sebelumnya. Walau rasa gelisah masih bersarang di dalam dada dan pikirannya, tapi Isan mencoba untuk mempercayai Asan sepenuhnya. Isan yakin Asan orang baik meski tingkah lakunya menyebalkan. Selang beberapa menit, suara Asan kembali terdengar dari balik pintu.
“Gua coba lepas kenop pintunya ya. Kalau gak bisa, baru gua dobrak.”
“Okay …”
“Ada hening tercipta diantara keduanya. Asan yang sibuk membuka sekrup pada kenop sedangkan Isan mencoba diam dan tidak berlaku panik. Tapi bukan Asan kalau tidak memiliki seribu satu ide jahil. Maka dia membuka suara lebih dulu,
“Isan, kalau ini berhasil gimana?”
“Aku bakal berterima kasih banget ke kamu …” Jawab Isan yang membuat Asan berhenti bekerja. “Itu doang?”
“Aku gak bakal curi ayam serundeng kamu lagi.”
“Lah itu mah memang sebuah kewajiban. Itu doang?”
“ish. Kamu maunya apa, Asan?”
Asan tersenyum licik, “Jadi babu gua selama seminggu. Turutin semua perkataan gua selama seminggu penuh. Gimana?”
“HAH?”
“Take it or leave it.”
“Fine, I’ll take it. Asal keluarin aku dari sini dulu.” Senyum kemenangan tercetak jelas di bibir tuan kucing. Maka kuasa Asan kembali digerakan untuk membuka sekrup terakhir. “Jangan sampe bohong, ya.” Dan selang beberapa menit, pintu berhasil terbuka.
“Anjay, kebuka.” Adalah kalimat yang pertama Asan lontarkan saat hasil kerja kerasnya ternyata tidak sia-sia. Matanya menangkap presensi Isan dengan piyama beruang dan matanya begitu sembab karena terlalu banyak menangis.
“Huweee Asan makasih banyak!!” Dia menghampiri tubuh Asan dan memeluknya begitu erat. Reflek tubuh, “aku gak bakal curi ayam serundeng kamu lagi setelah ini.”
Asan hanya bisa terpaku, badannya begitu kaku laiknya batu atau patung yang ada di tengah taman. Begitu terus sampai Isan melepaskan pelukannya.
“Makasih sekali lagi.” Ucap Isan yang membuat Asan berdeham kaku, “k-kan ini enggak gratis!” Isan menatap Asan seraya menghapus air mata yang tersisa.
“Tugas pertama lo sebagai bayaran atas hal tadi …” Belum jua rampung bicara, Isan lebih dulu angkat suara, “HAH? Kok udah ada aja?”
Senyum liciknya kembali tersemat, “ada. Sekarang anterin gua ke dapur. Gua mau masak mie, laper.”
Dan mau tidak mau Isan mengantar Asan menuju dapur yang ada di lantai dasar. Bagaimana pun juga, janji adalah janji. Isan harus menepatinya. Dan ini baru cobaan pertama. Entah cobaan apa lagi yang akan dia terima ke depannya. Semoga tidak berat.
- Bersambung
4 notes
·
View notes
Text
New Hobby, New Page









Image Source: Pinterest
Hello everyone! I'm Margaretha, welcome to my very first blog!
Pada blog saya yang pertama ini, saya akan membahas seputar hobi yang saya miliki, juga dampak positifnya!
Saya memiliki hobi membaca novel sambil mendengarkan musik. Hobi yang mungkin memang terdengar membosankan bagi beberapa orang. Nah, kok bisa tuh, saya akhirnya menjadikan hal ini sebagai hobi?
Jadi begini ceritanya, dulu, saat duduk di bangku sekolah dasar, saya tidak memiliki hobi khusus. Hari-hari saya jalani dengan siklus berulang. Bangun, membereskan tempat tidur, mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Pulangnya, saya menghabiskan waktu dengan makan, tidur siang, menggambar karena iseng, chattingan dengan teman-teman saya, atau bermain game di gadget, belajar dan menutup hari saya dengan tidur. Begitu terus hingga hari-hari berikutnya.
Hingga pada suatu hari, yang saya lupa tepatnya kapan, mungkin... saat libur panjang? Saya merasa jenuh hingga akhirnya memutuskan untuk berjalan keluar rumah. Selama perjalanan, saya melihat banyaknya pepohonan rindang dan burung pipit yang terbang kesana kemari. Sore hari itu terasa sangat sejuk. Saya terus berjalan, hingga akhirnya pandangan saya tertarik ke salah satu toko buku yang tak pernah saya sadari sebelumnya.
Saya memasuki toko buku itu, melihat-lihat rak yang terisi jajaran buku yang tersusun rapi sesuai urutan abjad pada judul buku. Saya menarik salah satu novel yang sampul plastiknya telah terbuka pada abjad "H". Novel itu, covernya berwarna biru muda dengan gambar objek-objek lucu: unicorn, bulan sabit, bendera merah, sepatu roda, surat, bunga, topi graduasi, bola basket, scrunchie berwarna pink, bintang, dan mobil sports berwarna biru tua. Juga terpampang jelas judul novel yang berwarna biru tua dan merah; Hello, (dengan warna biru tua), Cello. (dengan warna merah). Tak sampai di situ keunikannya, cover novel tersebut ialah cover sleeve, sehingga ketika dibuka akan menampilkan cover di bawah cover yang bergambar ring basket dengan gambar seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang saya prediksi adalah tokoh utama dalam novel yang saya genggam).
Image Source: Pinterest
Karena penasaran, saya membuka novel itu, mengulik lebih dalam kisah yang diceritakan lewat tinta di atas kertas. Lembar demi lembar saya lewati, tak terasa sudah berada pada halaman ke-23. Karena hari sudah mulai gelap, saya memutuskan untuk membeli novel itu dan lanjut membacanya di rumah.
Sesampainya di rumah, saya kembali membuka novel pada halaman yang sudah saya selipkan pembatas sebelumnya. Kemudian saya mengambil ponsel dan memutar musik yang saya sukai.
Menit demi menit berlalu, saya terhanyut dalam cerita dan musik yang mengalun lembut di telinga saya. Setiap perbuatan tokoh yang dideskripsikan sedemikian rupa oleh sang penulis mampu menarik saya masuk ke dalam dunia ciptaannya; dimensi lain yang entah bagaimana membuat saya turut merasakan apa yang dirasakan tokoh utama, walau sebenarnya, saya tak pernah mengalami hal itu sebelumnya. Sesuatu yang membuat saya merasakan pengalaman baru, juga memberi warna asing di tengah monokromnya hari-hari saya kala itu. Setiap dialog yang terucap oleh tokoh membuat saya memahami berbagai sudut pandang yang berbeda-beda dari setiap manusia. Dan saya jatuh semakin dalam pada pesona dari sebuah buku tebal yang berisikan tinta di atas kertas yang tak ditoreh sembarangan, namun dengan penuh rasa yang tertuang ke dalamnya dari sang pencipta skenario.
Begitulah awal saya mulai tertarik untuk menyelam lebih dalam pada dunia novel. Saat ini, saya sudah mengoleksi beberapa novel dalam lemari saya, yang mungkin akan semakin bertambah jumlahnya di hari mendatang.
Ngomong-ngomong soal novel, saya yakin nih, beberapa dari kalian, pasti ada yang hobinya sama seperti saya. Guys, mau tau satu hal gak? Sebenernya hobi yang kalian miliki itu bisa dikembangkan jadi sebuah karya loh. Hah, gimana caranya? Bukannya baca novel fiksi gak bikin kita menghasilkan sesuatu? Eits, siapa bilang? Tanpa kalian sadari, membaca itu bisa meningkatkan kemampuan bahasa kalian. Entah dari bertambahnya kosakata yang kalian miliki, membuat kalian jadi lebih mudah menyusun kalimat menjadi lebih baik, atau bahkan meningkatkan sisi imajinatif dan kreativitas kalian. Dari sinilah, kalian bisa kembangkan kemampuan kalian itu menjadi seorang penulis.
Tapi jangan lupa satu hal ya guys, penulis yang baik adalah penulis yang gemar membaca dan tekun menulis. Walau sudah membaca seribu buku, kalian tentunya masih harus tekun dan giat untuk belajar menulis. Karena sesungguhnya, menulis tak semudah yang dikira. Selain memiliki imajinasi dan kreativitas, seorang penulis juga harus mampu menyampaikan perasaan mereka melalui tulisan yang mereka ciptakan.
Nah, jadi bagaimana? Apa kalian mulai tertarik untuk menuangkan imajinasi kalian ke dalam sebuah kertas?
Last but not least, i have a quote from book for you guys.
“It’s the possibility of having a dream come true that makes life interesting.”
—The Alchemist by Paulo Coelho.
So, don't be afraid to be a dreamer and take things step by step with all of your heart to make your dreams come true guys! See you at another time and have an auspicious day! 🩷✨
#reading#reads#writing#membaca#new hobby#book quotes#my post#first post#first blog#my hobby#listen#listening music#music
10 notes
·
View notes
Text
The First Page
Bau khas buku baru menguar di penghidu, memasuki jam rawan overthinking, perempuan berpakaian serba hitam dengan aksen merah pada tas jinjing itu menetapkan keputusan untuk bersantai di bagian pojok perpustakaan demi ketenangan pikiran walau sementara. Petang menjelang malam adalah waktu terbaik untuk sekadar melamun atau membiarkan diri larut dalam ratus lembar kertas berisi ragam peristiwa, begitu cara pikirnya.
“Mbak Ay, nggak bosen pinjem buku mulu?” untuk hari ini perempuan itu tidak sendiri, selepas menjemput adik paling bungsu ia pergi ke perpustakaan demi sebuah buku kurang dari seratus halaman yang baru dihadirkan dua hari lalu.
“Nggak,” jawab sang puan apa adanya. Ia senang meminjam buku sebab tak punya cukup ruang untuk mengoleksi buku di dalam rumah.
Laki-laki yang sejak tadi menemani hanya berdiam, sesekali mengecek ponsel dan memainkan permainan di ponsel, lalu kembali merecoki dengan melongok ke sampul buku di genggaman kakak perempuannya. “Itu baca apa, Mbak?”
Melihat gerak-gerik adiknya yang tampak begitu jauh dari kata nyaman, bukunya ditutup sebentar. “Iden sebentar, ya, Mbak mau healing. Kamu kalo mau ke kedai sebelah boleh aja, nanti Mbak telepon, oke? Bukunya tipis, kok.”
‘Tipis apanya? Itu bahkan lebih tebel dari LKS matematika?’ ujar Aiden dalam hati saat menatap setebal apa buku tersebut. Menurut dugaan Aiden yang melongok diam-diam, sepertinya ada 300 lebih halaman.
Sedikit jengkel, adik laki-lakinya menggerutu. “Ih, orang nanya doang. Tapi uang aku abis, Mbak. Tadi ketinggalan jadi cuma kebawa 10 ribu, itu pun hasil selipan tas.”
Saking pengertiannya, wanita itu terkekeh, oh jadi ini alasan mengapa Aiden hanya melamun tidak jelas di sebelahnya. “Mbak transfer ke GoPay, sana, gih, kamu di sini malah gangguin Mbak.”
“Mbak udah bilang Bunda?” sepulang sekolah, biasanya Aiden sama sekali tidak diperbolehkan pergi berkelana oleh kedua orang tua, itu kesepakatan mutlak. Bila ingin keluar bersama teman, Aiden akan pulang ke rumah terlebih dahulu dan izin kepada Ibunda tercinta karena Ayah belum kembali dari bekerja. Maka dari itu, perizinan membawanya sampai hampir malam ini dipertanyakan pada sang kakak.
“Udah. Kata Bunda nggak apa, dia bilang sekalian ajak kamu baca, tapi kamunya kan ogah-ogahan, Mbak nggak mau maksa. Jadi ntar Mbak bilang Bunda aja kamu ke kedai. Maaf, buku ini cuma ada satu stok aja, jadi Iden ikutan Mbak ke sini,” tuturnya sedikit menyesal.
Aiden menyengir. “Gak papa, Iden ngerti Mbak butuh refreshing. Makasih, ya, Mbak. Iden ke sebelah. Love you!”
“Hm, too. Mbak transfer sekarang, nanti cek.”
Sang adik dengan celana abu-abu serta sweater biru dongker mengacungkan jempolnya sebelum hilang di balik jajaran rak menjulang.
***
Rak dengan ribuan koleksi buku menjadi rumah kedua bagi seonggok pria bertubuh semampai. Shift sore-malam menjadi tanggungan per akhir bulan ini untuk sementara dikarenakan temannya perlu merawat putri kecil yang dikabarkan dirawat sebab terjangkit demam berdarah.
“Tadi banyak yang balikin buku, tapi belum aku taruh di rak lagi, tolongin ya, Sal.” Pinta wanita penjaga perpustakaan kecil itu setengah memohon.
“Sip, nanti saya rapiin. Cepetan, Kak, nanti Iren keburu ngerengek nyari Mamanya,” ucapnya santai, toh dirinya bukan seseorang yang banyak sibuk, tak masalah bila terkena pergantian shift seperti sekarang.
Dengan tergesa-gesa, Ibu satu anak itu melambaikan tangan. “Iya, nih. Makasih, ya, Sal!”
“Sama-sama, Kak Gauri!”
Usai berkoordinasi, pria itu secara cekatan membereskan tasnya, meletakkan di dalam boks besar khusus menyimpan barang pribadi sebelum mendorong tumpukan buku-buku hasil pinjaman ke tempat semula.
Ekor mata si pria menangkap seorang wanita mengerutkan alisnya di pojok ruangan, wajahnya tampak sedikit tidak bersahabat sebab tatapannya terkunci seakan sudah menyatu dengan lembar per lembar buku bacaan.
Baru kali pertama si pustakawan melihat orang sebegitu serius membaca, ia terlalu banyak menengok pengunjung yang membaca di dalam tak betah dan berakhir hanya melamun alih-alih menghabiskan seratus lembar buku. Ah, sepertinya ia terlalu lama menelaah sampai lupa ada banyak hal untuk dikerjakan.
***
“Mas, kalo saya pinjamnya sekitar sebulan boleh nggak?” tiga tumpuk buku dengan halaman ratusan mendarat di meja dekat pintu tempat di mana para pustakawan biasanya melayani.
“Sesuai sama peraturan di sini, belum bisa, Kak. Maksimal dua minggu seperti biasa,” jelas sang pustakawan.
“Duh, saya ada acara di luar kota dan perkiraan waktunya sampai satu bulan. Boleh, dong, ya?” rayu perempuan di hadapan dengan binar melasnya.
Masih dengan senyum, pria itu menghela napas. “Kalau gitu kenapa nggak beli aja bukunya, Kak?”
“Rumah saya udah jadi gudang buku, Mas, udah nggak ada space lagi. Saya di jalan bosen nih, nggak ada buku.”
“Buku elektronik banyak, nggak perlu sewa sebulan, lho.” Solusi diberikan pada—si ngeyel—pelanggan pertamanya hari ini.
“Buku fisik lebih nyaman dibaca, Mas. Satu bulan, ya?” entah berapa lama ia perlu merayu agar luluh hati pria ini, yang jelas ia perlu buku itu untuk menemani perjalanan panjangnya yang dimulai dari akhir pekan.
“Ini bukan langganan Spotify, Kak. Kalau mau bayar denda 200.000 per buku pinjaman karena telat dua minggu. Gimana?” tawarnya. Itu sesuai peraturan absolut perpustakaan, di mana satu buku telat dikembalikan selama satu minggu, maka satu lembar uang merah menjadi pengganti.
“Mas, emang beneran se-nggak bisa itu? Saya langganan di sini, udah ada booklabs card juga, masak iya nggak ada privilege?” binaran putus asa sekarang dijadikan senjata demi rayuan terakhir.
Namun, reaksi pria itu masih teguh pendirian. “Mau poinnya sampai 100.000 pun nggak akan ada privilege sewa buku satu bulan, tertera di sana tulisannya mendapat buku segel gratis jika poin mencapai 4.000, ‘kan? Nggak ada tulisan ‘Anda akan mendapat kesempatan meminjam buku lebih dari tenggat waktu yang tercantum’. Saya cuma orang yang jaga, Kak, nggak bisa ambil keputusan juga.”
“Aduh, ya udah, deh. Kira-kira dua yang lain ini bakal ada yang keep nggak dalam waktu sebulan ke depan?” perkiraan ia akan meminjam kembali adalah sebulan lagi, ia ingin memastikan apa bisa setelah kembali dari kegiatannya ia pergi kemari untuk segera meminjam buku tersebut.
Raut wajah pria itu tampak berpikir. “Ya ... tergantung. Karena ini buku keluaran terbaru dan kami nggak punya banyak stok, kemungkinan ada.”
“Keep buat saya bulan depan, bisa, Mas—“ dibacanya nama di bagian dada sang pustakawan. “Salim?”
Mendengar namanya disebut, Salim terkekeh, “nggak bisa, Kak.”
“Capek, deh.” Perempuan itu menepuk jidatnya, kemudian memisahkan buku paling tebal untuk dipinjamnya dua minggu ke depan. “Ini dicap dulu, Mas, saya jadi pinjam yang ini aja.”
“Sebentar, ya.” Pria yang dirasa memiliki tingkat kesabaran rendah tetapi mudah mengendalikan itu mengecap kartu yang diselipkan di halaman paling depan buku sebagai keterangan dengan stempel berlogo perpustakaan bernama “booklab.studio” dan memberikannya pada wanita di depan meja.
“Member card-nya dibawa?”
“Ini, Mas.” Ia menyodorkan kartu bercorak minimalis khas interior perpustakaan.
Salim memindai kode dari kartu tersebut supaya poin beragam keuntungan itu menambah dan bisa ditukarkan dengan buku gratis saat jumlahnya mencapai 4.000 poin.
“Terima kasih, Kak Ayla. Have a good day!” di sana pula Salim mengetahui siapa nama pelanggan yang memohon padanya tadi.
“Serius nggak bisa sebulan?” masih juga.
Salim tertawa. “Nggak bisa, Kak.”
Ayla memanyunkan labiumnya. “I will not have a good day, fyi.”
Serius, pria itu tak hentinya terkekeh melihat bagaimana bibir wanita itu tertekuk karena inginnya tak dituruti. Mau bagaimana lagi, Salim bukan siapa-siapa yang mampu seenak jidat mengubah peraturan berdasar luluh lewat cemberut. “Smile. It'll be help. Kalo ada bukunya, saya hubungi.”
Langkah yang semula ingin melewati pintu kembali berbalik. “Lewat?”
“Dari member card kan ada alamat e-mail. Nanti saya kabari lewat e-mail.” Tunjuk Salim pada komputer di hadapan. Membuktikan bahwa perkataannya benar.
“Yes! Thank you, ya, Mas Salim!” binaran ceria kini menghiasi wajah manisnya, ia bergegas pergi dengan langkah bergegas, tak lagi lesu seperti sebelumnya.
Pria tersebut bergeleng. Ada-ada saja jenis manusia masa kini.
4 notes
·
View notes
Text
Taman Karya Jurnalistik
article by Evra, Ihsan, Javier and Rafi
Sejarah Kilas Balik Jurnalistik Indonesia
Di era modern ini, penyebaran informasi dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Setiap harinya, alat-alat komunikasi seperti hand phone dan laptop terus berkembang menjadi semakin canggih. Hanya dalam waktu sekejap, konten berita bisa dibuat dan seseorang bisa disebut sebagai jurnalis. Tetapi pada zaman dahulu, hal ini tentu sulit untuk dilakukan. Alat-alat canggih seperti ponsel dan laptop belum ditemukan. Lantas, dengan segala kesulitan di masa itu, apakah jurnalisme bisa dilakukan? Nyatanya, jurnalisme dapat dilakukan dan bahkan ditemukan di masa tersebut. Produk jurnalistik paling awal didunia adalah Acta Diurna, yang merupakan sebuah koran pada zaman Romawi Kuno. Mulai dari sini, jurnalisme lama kelamaan menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Di Indonesia sendiri, jurnalistik masuk pada saat masa penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1615. Saat itu, Gubenur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen memerintahkan personel nya untuk menulis tangan lembaran berita mengenai keberangkatan dan kedatangan kapal-kapal niaga dibeberapa tempat. Surat kabar yang ditujukan kepada kalangan pejabat tersebut kemudian diberi nama, Memories der Nouvelles oleh Coen. Di masa itu keberadaan mesin cetak di wilayah Indonesia belum ditemukan, sehingga proses pembuatan lembar berita harus ditulis manual. Hal ini membuat kapasitas dari usaha yang dimulakan Coen itu sangat terbatas.
Mesin cetak baru masuk ke wilayah Indonesia pada tahun 1668 dimana, hal ini memotivasi Jan Erdman Jordens untuk membuat koran yang lebih canggih dari Memories der Nouvelles. Jordens kemudian memberikan usulannya kepada Gubenur Jendral Willem Baron Van Imhoff dan singkat cerita, pada tahun 1744 Imhoff mendirikan percetakan Benteng dan menerbitkan koran berbahasa Belanda Bataviasche Nouvelles. Setelah itu, berbagai koran berbahasa Belanda lainnya seperti Vendu Niews mulai diterbitkan dan akhirnya, pada tahun 1854 koran berbahasa lokal mulai diterbitkan. Koran berbahasa lokal yang pertama kali terbit adalah koran Bianglala. Setelah itu diikuti koran berbahasa Jawa, Bromartani, yang didirkan oleh Carel Frederik Winter, seorang guru bahasa Jawa di Solo pada tanggal 29 Maret 1855. Saat awal diterbitkan, surat kabar yang dikelola oleh Frederik dan anaknya Gustaaf ini disambut hangat oleh pembaca umum dan anak-anak sekolah. Mulai dari sini Jurnalistik di Indonesia terus berkembang hingga saat ini.
2 notes
·
View notes
Text

Prakira
#draft
Aku tak pernah menafikan imaji, karena lewatnya, dunia ini kian penuh akan inovasi, nan cemerlang serupa utopia. Himpunan sel dalam akal akan terus-menerus merongrong kita untuk berimajinasi, membayangkan sepatah dua patah prakira, masa lalu, serta kemungkinan alternatif bagi hari ini. Itu normal, dan manusiawi memang.
Seringkali kita dihadapkan pada imaji yang terkesan begitu melangit, dan tak jarang, kita menampik seraya apriori pada diri sendiri. Dalam satu dua hal, kita gagal untuk jatuh yakin pada putaran roda takdir yang memang masih semu dalam pandangan. Dibilang gagal juga kurang tepat sebetulnya, karena kesuksesan ialah relativitas, bukan? Di sisi yang lain, kadang kita memilih untuk percaya, berpegang teguh pada keharmonisan alam yang seolah memihak pada diri ini, berujar dalam sanubari perihal, "semesta pasti mendukungku!" adalah hal yang biasa terjadi.
#
Pilihan manapun, takkan menjadi sebuah persoalan. Semua adalah bentuk dari kekayaan sang pencipta untuk kita sebagai seorang insan.
#
Namun tak jarang, kita justru berdiri diantara keduanya. Bimbang seraya linglung antara percaya dan tidak. Hal pertama, kita sangat menginginkannya. Kita percaya sesuatu itu akan nyata membumi, entah kapan waktunya. Tapi kemudian hasrat untuk melayangkan tampik timbul, mempersoalkan sikap percaya itu sendiri.
Lucunya, ini bukanlah sikap tidak percaya, melainkan sebuah kondisi dimana kita tidak memiliki gambaran apapun mengenainya secara penuh. Seperti dahulu dimana peradaban tidak mampu membayangkan akan menyentuh layar ponsel dengan jemari, kita juga seringkali menjumpai hal serupa dalam keseharian, tak terkecuali untuk sesuatu yang teramat serius,
#
sesuatu yang beriringan dengan lembaran baru dalam kehidupan.
#
Kapan terakhir kali kau memikirkan karirmu? Bersama siapa saja kau akan menghabiskan sisa-sisa umurmu? Hal apa saja yang akan kau lakukan setelahnya? Atau bahkan, kapan kau akan menggendong anakmu?
Model pertanyaan seperti itu sebetulnya bisa dengan mudah kita imajinasikan, terproyeksi secara sinkron dengan situasi yang saat ini merangkul diri. Namun kembali, penggambaran yang kita dapatkan adalah atas apa yang kita lihat saat ini. Bagiku, sesuatu itu lantas terjebak ditengah-tengah relung akal.
#
Akankah kita benar-benar mampu melewatinya?
#
Bagiku, pertanyaan terbesarnya bukanlah kita. Aku yakin, sangat yakin malahan, kau dan aku, mampu sama-sama kuat saling menjaga rasa ini. Secara rutin, masing-masing kita memoles kata sayang yang tersimpan dalam-dalam dengan cara kita sendiri.
#
Bagiku, pertanyaannya adalah aku, suatu hari nanti.
#
Hingga kini, nyatanya aku masih berada di titik persimpangan. Dikala mereka yang lain telah menentukan arah layarnya, aku masih terdiam bingung seraya memikirkan segala kemungkinan yang tak pasti. Disaat kebanyakan orang sudah memprediksi bagaimana kehidupan mereka 10-20 tahun lagi, aku masih berkutat pada uang yang sama sekali tak kudapatkan dari jerih payahku.
Maaf ya, bukannya aku pesimis, tapi hingga kini, untuk membayangkan hidup bahagia denganmu saja, aku masih takut. Aku takut, bila aku tak mampu menjadi layaknya ayahku hari ini, yang mampu menyeimbangkan canda tawa ku yang lahir dan tumbuh, dengan karirnya. Bagaimana jika pada akhirnya karirku tidak begitu cemerlang? Toh saat ini saja aku masih begitu bimbang.
Hingga kini pula, perjuanganku untuk menggapai cerahnya mentari masih seujung kuku. Karena, melihatmu yang begitu terarah dan ambisius menggapai masa depan justru membuatku merasa gagal menjadi yang terdepan diantara bintang-bintang. Pujian semua orang mengenai betapa bertuahnya aku nyatanya hanyalah senandung penghibur yang tak abadi. Aku masih belum jadi apa-apa. Tengadah doaku yang hingga kini masih tak sepenuhnya sadar, ibadahku yang tak lain hanya menggugurkan kewajiban, menjadi alasan tersendiri bagiku untuk duduk termenung, bersama dengan gelimang air di sudut mata.
##
Terima kasih ya, karena hari itu, melalui ceritamu tentang partner kakakmu, aku jadi lebih memperhatikan bagaimana pentingnya sebuah karir. Sebagai seseorang yang dihakikatkan untuk menafkahi, aku merasa sepatutnya lebih giat berjuang ketimbang siapapun. Dan maaf yaa, karena waktu kau menceritakannya, ekspresiku berubah murung. Kalau boleh sangat jujur, hari itu aku takut bila karirku nanti tidak secemerlangnya. Aku takut, suatu hari orang-orang menertawakanmu. Aku takut ayahmu memandangku sebelah mata. Aku takut seraya mengkhawatirkan kehidupan kita suatu hari nanti.
Sampai sekarang, sebetulnya masih. Tapi kini, lebih kuarahkan menjadi sebuah motivasi besar bagiku untuk menggapaimu dan kehidupan yang lebih baik. Untuk cerita di hari itu, terima kasih banyak yaa?
Dan terakhir, yang mungkin akan sangat kuharapkan darimu, untuk kini dan nanti,
#
Bagaimanapun karirku nanti, tolong selalu jadi penyemangatku yaa naw?
##
#
2 notes
·
View notes
Text
Sejenak Pentingnya Detox smartphone
Halo, perkenalkan saya ucai. Saya berasal dari indonesia, saat ini sedang berusaha menemukan cara agar bisa berhenti dari ketergantungan ponsel pintar dan adiksi lainnya yang terdapat didalamnya.
Saya menggunakan ponsel pintar semenjak 2013, ponsel pertama saya yaitu hape lg optimus dengan touch screen yang kecil dan handy. Saya termasuk pengguna aktif sosial media dari facebook, twitter, instagram dan aplikasi lainnya pada kala itu dan ketertarikan saya menjelajahi dunia lewat internet.
Saking menikmatinya hiburan internet dan bisa berinteraksi dengan orang diluar kota dan diluar negeri. Perbedaan waktu dan wilayah seolah tidak menjadi penghalang untuk saling mengenal dan bertukar kabar dan informasi. Tahu akan segala hal yang terjadi di dunia internasional dan dalam negeri, politik, berita, keuangan, showbizz, perfilman, budaya, bahasa, makanan, kesehatan, dan masih banyak hal yang lainnya.
Namun seiring waktu pula, saya merasakan ada hal yang berbeda yang saya alami. Dari mulai kecanduan, adiksi, cemas, serta ketakutan-ketakutan sendiri diakibatkan ponsel pintar. Cemas yang muncul ketika berada jauh dari ponsel pintar. Cemas karena hiburan-hiburan yang kita peroleh secara instan melalui sosial media platform tergantikan dengam hiburan dunia nyata. Seperti hadir dan menikmati segala aktifitas yang kita lakukan.
Distraksi notifikasi aplikasi akun sosial media, berkabar lewat udara dan perhatian saya teralihkan dan tertuju pada bunyi notifikasi ponsel pintar saya.
Karena dengan kemudahan dan kehadiran ponsel pintar selain memang membantu akses manusia, dimana mendekatkan interaksi sosial manusia yang jauh dan menjauhkan interaksi sosial yang dekat.
Gangguan yang nyata di zaman sekarang adalah karena kita menggantungkan kebutuhan dan kebahagiaam kita pada ponsel pintar.
Seperti dilansir berbagai penelitian dan website, munculnya anxiety, adiksi gadget dan ponsel pintar, meningkatnya isu kesehatan mental pada anak-anak, remaja dan dewasa. Nomophobia dimana dikatakan cemasnya seseorang saat berada jauh dari ponsel pintarnya. Entah itu kekhawatiran oranglain akan menanyakan kabar kita, atau kita khawatir terhadap tidak updatenya serta kehilangan informasi dan berita-berita up to date lainnya.
Fomo (Fear Of Missing Out) dimana ketakutan akan kehilangan kabar berita dari teman dan lainnya entah itu scrolling social media dan kabar terbaru dari siapapun yang kita ikuti di berbagai platform social media.
Candu, Adiksi dan lainnya ini menjadi gangguan nyata yang saya hadapi. Oleh karena itu, saya berfikir untuk perlu memperhatikan kesehatan mental dan hal lainnya terkait ketergantungan saya akan ponsel pintar. Waktu yang saya habiskan serta perhatian nyata yang saya bisa alihkan dari dunia internet kepada dunia yang saya sedang hadapi saat ini. Mengembalikan kesadaran secara penuh fikiran,perasaan dan hal-hal yang bisa saya kendalikan kepada hal-hal yang nyata dan berjangkar pada anggota tubuh saya.
Menghadirkan secara penuh jiwa, fikiran dan hati pada momen saat ini, detik ini dan sekarang. Sehingga fikiran tidak terbang menjelajah ke hal-hal diluar kendali saya.
Langkah yang saya akan lakukan selama detox smartphone adalah dengan berpindah ke ponsel nokia lama saya, yang hanya bisa dipakia untuk sms dan telepon setikdanya saya masih bisa berkomunikasi.
Adapun terkait dengan projek atau email yang saya masih gunakan serta whatsapp atau lainnya saya bisa pergi ke warung internet seminggu sekali untuk sekedar membuka pesan dan membalas email yang masuk serta mengecek hal lainnya yang ada erat kaitannya dengan pekerjaan atau jika ada hal yang urgent, maka pilihannya adalah meminjam hape ibu saya terkait hal-hal penting lainnya yang saat itu diperlukan.
Hiburan seperti scrolling social media bisa saya alihkan kepada hal lainnya seperti mengali keahlian baru lewat kegiatan non internet, seperti pergi ke perpustakaan, bertemu teman dan mengajak main kerumahnya, membaca buku, memasak masakan baru, latihan olahraga lebih sering, belajar bahasa baru, journaling dengan membawa buku catatan dan pensil. Melatih kemampuan baru dan mengevaluasi kebiasaan yang harus diubah atau diperbaiki. Serta bisa terhubung dengan diri dan oranglain secara penuh sadar serta lebih produktif dan tidak cemas lagi.
#detoxsmartphone#detox#smartphone#social media#detoxsocialmedia#addiction#self love#productivity#produktivitas
4 notes
·
View notes
Text
Ritual Pagiku
Orang bijak pernah berkata bahwa kebahagiaan bisa ditemukan di sekitar kita. Well, aku sudah membuktikannya. Soalnya, belakangan kualitas hidupku meningkat hanya karena satu kegiatan.
Coba tebak apa itu?
Jawabannya memasak.
The magic of cooking sebenarnya sudah kubuktikan sejak di Medan. Jadi, waktu homesick banget untuk pertama kalinya sama Jawa, hal pertama yang kupikirkan adalah makanannya. Di Medan tuh nggak ada warteg, guys. Masakan Jawa biasanya hanya ada di restoran tertentu, itu pun rasanya sudah dimodifikasi untuk mengikuti lidah orang Sumatera (aku pernah makan gudeg di Medan, malah mual karena udah beda banget rasanya). So, apa yang bisa kulakukan untuk bisa makan masakan Jawa yang ada di ingatanku? Yap, aku harus masak sendiri.
So, there I went. Setelah pulang kantor jam 5, aku pergi ke pasar dekat kosan (pasar di Medan ada yang buka sampai sore). Setelah itu, aku akan masak. Aku ingat sekali masakan pertama yang kubuat saking homesick-nya itu adalah...sup bening, wakaka. Di Medan nggak ada sup bening, nangis banget waktu akhirnya bisa makan itu T_T.
Nah, kali ini aku butuh keajaiban memasak dengan alasan yang berbeda. Setengah tahun belakangan, aku nggak banyak kegiatan selain bekerja dan ikut bootcamp. Kadang-kadang karena nggak ada kegiatan, aku jadi terlalu hooked sama ponsel. Kegiatan scrolling nggak jelas ini bahkan berlanjut sampai tengah malam. Gara-gara itu, aku kadang jadi punya pikiran negatif dan tidurku kurang nyenyak.
Aku akhirnya memutuskan memasak lagi.
Keseluruhan proses memasak itu kan mulai dari belanja ya. Makanya aku mulai punya "motivasi" buat bangun pagi. Simpel banget motivasinya: ngejar tukang sayur yang datang jam setengah 6 pagi, wakaka. Kalau belanja sendiri, pikirku, aku bisa belajar ulang harga-harga bahan makanan dan memilih yang kualitasnya bagus.
Aku ingat masakan pertamaku di rumah adalah makanan kesukaanku, oseng kerang dan tempe. Berkat memasak makanan itu, sekarang aku bisa bedain mana lengkuas, mana ketumbar, mana kunyit, dan mana jahe. Soalnya nih, biar kerangnya nggak amis, Mama dan Uti (eyang putriku) biasanya menambahkan lengkuas dan daun salam waktu memasak. Kadang-kadang kalau ada, bakal nambahin serai juga.
Uyey, udah lolos ujian jadi istri idaman, haha.
Selesai masakan yang simpel, aku mulai coba yang agak ribet: beef teriyaki dan oseng daging sapi. Aku belanja bahannya di Superindo dekat rumah, kemudian marinasi daging semalam sebelumnya. Gobloknya, jahenya bukan digeprek, tapi malah kupotong cacah. Alhasil bukan beef teriyaki, tapi jadi beef with jahe everywhere. Tapi terharu banget sekeluarga tetap makan itu sampai habis, wakakakaka.
Aku panik-panik gimana gitu waktu itu beef teriyaki nya dikirim ke Semarang buat Uti, gegara omku datang dan makan masakanku. Ternyata, Mama sama Om takut Uti iri karena Om udah pernah cicipin masakanku. Buru-buru deh aku telepon Uti begitu Om udah pulang, "Ti, itu dibawain beef teriyaki dari rumah. Tapi kayaknya tuh bakal ada jahenya deh, hehe. Maaf ya, semoga suka,".
"Nggak apa-apa, to. Kan tetep ini masakannya Mbak Nisa. Makasih ya, sekarang pinter masak ya Mbak Nisa," kata Uti.
Well, sejak itu, aku jadi mencoba menyusun rutinitas baru. Bangun pagi tanpa tidur lagi, kemudian ke tukang sayur jam setengah 6 pagi, siapin bahan-bahan, mandi, kerja, masak, istirahat makan siang. Perubahan itu kecil dan nggak signifikan, tetapi mengubah banyak hal dalam hidupku. Aku jadi lebih mudah tidur sebelum jam 12 malam. Bahkan nih ya, AKHIRNYA kemarin aku ketiduran dari jam setengah 10 malam, kemudian kebangun jam 2 pagi.
I was like, "Ya ampun, ya ampun, akhirnya aku ketiduran! Ih ternyata aku bisa tidur normal lagi!".
Besides, aku happy banget setiap kali lihat masakanku berkurang sedikit demi sedikit karena Papa dan Mama makan. I mean, ini pertama kalinya aku memasak bukan cuma buat diriku sendiri, tetapi buat orang lain juga. Pasti kan bakal ada drama keasinan lah, kurang bumbu lah, kurang manis lah. Yet, they still eat it happily. Kadang dibercandain juga kalau keasinan atau gimana gitu.
Seeing the look of happiness when your loved ones eat your cooking literally hits differently.
...
Jujur, makanan adalah hal yang paling membahagiakan untukku. It gives a little happiness waktu ngebayangin berbagai macam makanan yang bisa kucicipi. Aku hobi menyimpan berbagai rekomendasi restoran, especially yang buffet dan all you can eat.
So, my key to happiness is simple: a good food.
And now, especially, when it is something I cook.
4 notes
·
View notes
Text
: Cerita kita

Sekarang sudah jam 8 pagi, Yosa duduk di bangku balkon rumahnya sembari mulai membuka hadiah yang di berikan oleh Juwar. Hari ini dirinya tidak ada kelas, karena itu Yosa bisa santai.
Tentang Juwar, ia sedang menemani ayahnya untuk mengurus beberapa pekerjaan di luar negeri. Sebab itulah Juwar dan Yosa hanya bisa bertukar kabar lewat ponsel selama hampir 1 bulan ini.
~~~
Yosa menatap isi hadiah Juwar sedikit bingung. Sebuah buku sederhana, namun cukup bersih walau sudah terlihat lumayan tua. Di sampul buku tertera judul ‘Aku kamu dan cerita kita’.
Yosa buka bukunya. Setelah membaca beberapa bait kata dengan seksama, senyum bahagia muncul dari wajah indah Yosa. Lembar demi lembar selesai ia baca, tak jarang pula Yosa tertawa. “Ternyata gue dulu tolol dan gak peka banget ya” ucap Yosa di sela tawanya.
Di dalam sebuah buku sederhana yang Juwar berikan, berisikan tulisan tangan Juwar yang menceritakan tentang kisahnya bersama Yosa. Di mana pertama kali mereka bertemu, kapan mereka mulai saling mengenal dan berbicara, serta tentang bagaimana Juwar mulai jatuh cinta kepada Yosa.
Hampir mendekati akhir dari cerita, mata Yosa terasa berembun. Tulisan tangan Juwar yang cantik ketika mengapresiasikan setiap hal kecil tentang Yosa, itu berhasil membuat hatinya menghangat.
Hingga di lembaran buku terakhir, Juwar tuliskan sebuah kata yang membuat Yosa tidak bisa lagi untuk menahan tangisan bahagianya.
‘𝖸𝗈𝗌𝖺, 𝗄𝖺𝗆𝗎 𝖺𝖽𝖺𝗅𝖺𝗁 𝗁𝖺𝗅 𝗉𝖺𝗅𝗂𝗇𝗀 𝖻𝖾𝗋𝗁𝖺𝗋𝗀𝖺 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝖺𝗄𝗎 𝗆𝗂𝗅𝗂𝗄𝗂. 𝖤𝗇𝗍𝖺𝗁 𝗌𝖾𝗄𝖾𝖼𝗂𝗅 𝖺𝗉𝖺𝗉𝗎𝗇 𝗃𝗂𝗄𝖺 𝗂𝗍𝗎 𝗍𝖾𝗇𝗍𝖺𝗇𝗀 𝗄𝖺𝗆𝗎, 𝗉𝖺𝗌𝗍𝗂 𝖺𝗄𝖺𝗇 𝖺𝗄𝗎 𝗋𝖺𝗒𝖺𝗄𝖺𝗇. 𝖳𝖾𝗋𝗂𝗆𝖺 𝗄𝖺𝗌𝗂𝗁 𝗄𝖺𝗋𝖾𝗇𝖺 𝗍𝖾𝗅𝖺𝗁 𝗁𝖺𝖽𝗂𝗋’.
Dengan cepat Yosa meraih ponselnya guna menghubungi Juwar. Tanpa lama panggilan telpon pun di jawab.
“Ju-
“Aku udah di bandara” ucap Juwar dari seberang telpon.
“Hah?”
“Surprise” jawab Juwar, kemudian tertawa pelan.
Yosa hapus air matanya, lalu memegang erat buku hadiah dari Juwar yang selesai ia baca beberapa menit lalu. Tanpa pikir apapun lagi Yosa langsung berlari keluar rumah dan memberhentikan sembarang taxi yang lewat.
“Aku kebandara” ucap Yosa sedikit terengah karena habis berlarian.
“Gak, aku aja yang ke rumah kamu”
“Lama”
“Tapi Yos-
“Udah, tunggu aja di sana!” perintah Yosa.
Yosa sudah amat rindu kepada Juwar. Setelah membaca buku bertuliskan tangan Juwar barusan, membuat rasa rindunya semakin menjadi. Tak akan tahan Yosa untuk tetap berdiam diri.
~~~
Begitu sampai di bandara, setelah membayar taxi Yosa kembali berlari.
“Jangan lari-lari, nanti kalo jatuh aku bakal marah” tegur Juwar dari balik telpon.
Sadar telpon mereka yang masih tersambung, pelan-pelan Yosa berhenti berlari. “Kamu di mana?”
“Tunggu aja di parkiran, biar aku yang nyamperin kamu”
Telpon terputus, namun tak lama sebuah tepukan pelan Yosa rasakan di kepalanya.
“Hai Yosa” sapa Juwar lembut.
Melihat mata Yosa yang membengkak Juwar sempat ingin bertanya apa masalahnya. Namun Juwar dapati sebuah buku yang tentu sangat ia kenali, kini sedang di pegang erat oleh Yosa. Juwar tersenyum, kemudian inisiatif memeluk kekasih kecil tercintanya itu.
Juwar tahu, Yosa pasti menangis karena selesai membaca buku yang telah ia berikan.
“Suka sama hadiahnya?”
“Hum, suka banget” angguk Yosa yang sudah membalas pelukan Juwar.
“Buku itu udah selesai aku tulis sejak kita resmi jadi tunangan, setelah berpikir cukup lama akhirnya aku beranikan diri buat ngasih buku ini ke kamu, jaga baik-baik ya” ucap Juwar sembari memainkan rambut Yosa.
“Pasti bakal aku jaga sebaik mungkin! Makasih ya..”
Juwar melonggarkan pelukannya, di tatapnya sebentar wajah manis Yosa yang dalam beberapa minggu ini terus dan sungguh ia rindukan. Lalu di cubitnya gemes hidung Yosa yang tampak sedikit memerah. “Happy national boyfriend day, Yosa”
Yosa tersenyum. “Happy national boyfriend day too, Juwar. Mau hadiah apa?”
“Pelukan aja sepuasnya”
“Emang cukup?”
“Lebih dari cukup”
“Kalo gitu, ayo pulang” ajak Yosa.
Kemudian Juwar genggam tangan Yosa erat. Senyum terus menghiasi wajah keduanya. Yosa berjalan ceria sambil mengayun ayunkan tangannya dan tangan Juwar yang saat ini setia bertautan.
Tak ada buruknya saling menahan rindu. Tampaknya perasaan mereka semakin tumbuh karena jarak.
Pertemuan setelah pisah, kini menciptakan perasaan manis bagi Juwar dan Yosa.
- rra
3 notes
·
View notes